Pengukuran
kinerja profesi kesehatan di rumah sakit (dokter, perawat, bidan, gizi) yang
paling populer adalah dengan mengukur seberapa besar kontribusinya terhadap
pendapatan rumah sakit. Besar kontribusi itulah yang dijadikan sebagai dasar
seberapa besar rumah sakitt memberikan penghargaan dalam bentuk jasa pelayanan.
Hampir semua rumah sakit di Indonesia menerapkan sistem itu.
Bahkan
aturan main remunerasi di kementrian kesehatan ketika membahas tentang incentif
juga menganut sistem itu. “Penghasil uang akan mendapatkan langsung
berdasarkan persentase”. Apakah 60%, 80% atau bahkan 90% tergantung
kesepakatan dan kebijakan yang ditetapkan. Dengan sistem ini, maka dokter yang “pegang
pisau”, tentu jasa pelayanannya lebih besar dibanding dengan dokter yang
tidak “pegang pisau”. Profesi yag banyak melakukan tindakan, tentu akan
mendapatkan lebih banyak dibanding profesi yang hanya menerima konsultasi atau
kunjungan pasien.
Bagi profesi
perawat di Indonesia, sistem yang seperti ini masih belum berlaku atau susah
untuk diterapkan. Mengapa demikian, karena bila dilihat seberapa besar
kontribusi perawat terhadap pendapatan rumah sakit, rata-rata kontribusinya
tidak bisa diukur. Dari mana akan mengukur, kalau aktifitas perawatan yang
sangat banyak itu, tidak terdefinisikan dan tidak memiliki harga.
Rata-rata
peran perawat di rumah sakit sebatas pelengkap bagi profesi lain, sangat jarang
yang fungsi mandiri perawat teraplikasikan dengan baik. Padahal teori-teori
keperawatan yang mendorong perawat untuk mandiri sangat banyak. Tapi sayang,
ketika berada di pelayanan, fungsi mandiri itu menjadi lemah, dan kebanyakan
lebih menyukai pekerjaan yang menjadi rutinitas harian.
Patient Care
Delivery System sebenarnya mengajarkan bagaimana perawat memerankan fungsi
mandirinya. Dari melakukan pengkajian biopsikososiospiritual, menentukan
masalah keperawatan, membuat perencanaan, melakukan intervensi dan evaluasi
semua diarahkan untuk fungsi mandiri. Tapi alasan system yang tidak mendukung,
kekurangan tenaga, kesibukan aktifitas di luar perawatan menjadi justifikasi
untuk terjebak pada rutinitas harian. Bila ini yang terjadi, bagaimana kinerja
perawat akan bisa dukur dengan cara yang populer?
Solusi yang
bisa dilakukan untuk keluar dari persoalan itu antara lain :
- Me-redesain tindakan keperawatan dengan bahasa standar. Aktifitas perawat yang sangat banyak (dari pasien masuk sampai pasien keluar), perawat terlibat di dalamnya. Tapi sayang aktifitas yang sangat banyak itu tidak memiliki nama dengan bahasa yang standar. Akibatnya perawat merasa sibuk dan lelah, bahkan menjadi tumpuan komplain pasien, tapi tidak ada harganya. Penggunaan bahasa standar keperawatan (SNL) menjadi sesuatu yang sangat dibutuhkan untuk keluar dari persoalan ini.
- Setelah desain tindakan keperawatan dengan bahasa standar tersusun dengan baik, langkah berikutnya adalah membuat regulasi agar tindakan keperawatan itu secara hukum sah untuk diberlakukan. Regulasi itu bermacam-macam, dari mulai Perda (untuk RSUD), Pergub (untuk RS BLUD Propinsi), Perbup (untuk RS BLUD Kabupaten) atau sekedar Kebijakan Direktur atau Keputusan Ketua Yayasan untuk RS Swasta.
- Agar implementasi SNL memiliki akontabilitas yang baik, maka dokumentasi asuhan keperawatan dan asesmen kompetensi menjadi perangkat penting yang tidak bisa diabaikan. Kita memahami, dokumentasi asuhan keperawatan adalah bukti legal formal dari aktifitas perawatan. Sehingga dokumentasi yang baik akan mampu menunjukan kinerja profesi perawat.
Tiga langkah
itu yang mungkin mampu mengawali profesi perawat di rumah sakit dapat dihargai
secara layak sebagai profesi. Pembenahan di internal perawatan perlu dilakukan
dengan CBT (Competence Base Training) dan CBA (Competence Base Asesment)
setelah penerapan SNL, jenjang karirpun ditata dengan mengacu pada kompetensi
dan setelah itu pengukuran kinerja perawat akan dapat dilakukan dengan cara
yang populer, yaitu seberapa besar kontribusi perawat terhadap pendapatan rumah
sakit. Bila pengukuran itu sudah didapat, maka tinggalah bertanya “berapa
yang didapatkan dari kontribusi sebesar itu?”