Kamis, 31 Maret 2011

ASUHAN KEPERAWATAN STRUMA

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Struma koloid , difus, nontoksik dan nodular koloid merupakan gangguan yang sangat sering dijumpai dan menyerang 16 % perempuan dan 4 % laki-laki yang berusia antara 20 sampai 60 tahun seperti yang telah dibuktikan oleh suatu penyelidikan di Tecumseh, suatu komunitas di Michigan. Biasanya tidak ada gejala-gejala lain kecuali gangguan kosmetik, tetapi kadang-kadang timbul komplikasi-komplikasi. Struma mungkin membesar secara difus dan atau bernodula.

Struma endemic merupakan salah satu masalah gizi di Indonesia. Sebab utamanya adalah efisiensi yodium, disamping factor-faktor lain misalnya bertambahnya kebutuhan yodium pada masa pertumbuhan, kehamilan dan laktasi atau pengaruh-pengaruh zat-zat goitrogenik.

Goitrogenik sporadic dapat disebabkan factor genetic atau karena obat (iatrogenic) antara lain metal atau propiltiourasil ( PTU ), tolbutamid, sulfaguanidin, PAS dan lain-lain.

B. Tujuan

  1. Tujuan Umum

Memberikan penjelasan mengenai penyakit gangguan struma.

  1. Tujuan Khusus

- Menjelaskan teori dan konsep terkait dengan penyakit Struma

- Memaparkan proses terjadinya gangguan struma

- Menerapkan teori dan konsep tersebut dan memberikan asuhan keperawatan pada pasien struma

BAB II

KONSEP DASAR

A. PENGERTIAN

Struma adalah pembesaran kelenjar gondok yang disebabkan oleh penambahan jaringan kelenjar gondok yang menghasilkan hormon tiroid dalam jumlah banyak sehingga menimbulkan keluhan seperti berdebar - debar, keringat, gemetaran, bicara jadi gagap, mencret, berat badan menurun, mata membesar, penyakit ini dinamakan hipertiroid (graves’ disease).

Struma nodosa non toksik adalah pembesaran kelenjar tyroid yang secara klinik teraba nodul satu atau lebih tanpa disertai tanda-tanda hypertiroidisme.

Struma Diffusa toxica adalah salah satu jenis struma yang disebabkan oleh sekresi hormon-hormon thyroid yang terlalu banyak. Histologik keadaan ini adalah sebagai suatu hipertrofi dan hyperplasi dari parenkhym kelenjar.

Struma endemik adalah pembesaran kelenjar tyroid yang disebabkan oleh asupan mineral yodium yang kurang dalam waktu yang lama.

B. ETIOLOGI

Hyperthyroid disebabkan oleh hypersekresi dari hormon-hormon thyroid tetapi yang mempengaruhi adalah faktor : umur, temperatur, iklim yang berubah, kehamilan, infeksi, kekurangan yodium dan lain-lain.

C. MANIFESTASI KLINIS

Jika struma cukup besar, akan menekan area trakea yang dapat mengakibatkan gangguan pada respirasi dan juga esofhagus tertekan sehingga terjadi gangguan menelan. Peningkatan simaptis seperti ; jantung menjadi berdebar-debar, gelisah, berkeringat, tidak tahan cuaca dingin, diare, gemetar, dan kelelahan.

D. ANATOMI

Kelenjar thyroid terletak di depan trakhea dan di bawah laryng yang terdiri atas dua lobus yang terletak disebelah dan kiri trakhea dan diikat bersama oleh secarik jaringan disebut istmus yang melintasi pada cincin tulang trakhea dua dan tiga.

Struktur thyroid terdiri atas sejumlah besar folikel dilapisi oleh cuboid epitelium membentuk ruang yang disebut koloid yaitu lumen substansi protein.

Regulasi sekresi hormon tyroid dipengaruhi oleh sistim kerja balik antara kelenjar hipofisis atau pituitari lobus anterior dan kelenjar thyroid. Lobus anterior hipofisis mensekresi TSH yang berfungsi meningkatkan iodine, meningkatkan sintesis dan sekresi hormon thyroid, meningkatkan ukuran kelenjar thyroid.

Apabila terjadi penurunan hormon thyroid, hipofisis anterior merangsang peningkatan sekresi TSH dan mempengaruhi kelenjar thyroid untuk meningkatkan sekresi hormon thyroid.

a. Thyroxine (T4) berfungsi untuk mempertahankan metabolisme tubuh.

b. Tridothyronin (T3), berfungsi untuk mempercepat metabolisme tubuh.

Fungsi utama kelenjar thyroid adalah memproduksi hormon tiroxin yang berguna untuk mengontrol metabolisme sel. Dalam produksinya sangat erat hubungannya dengan proses sintesa tyroglobulin sebagai matrik hormon, yodium dari luar, thyroid stimuliting hormon dari hipofise.

D. PATOFISIOLOGI

Iodium merupakan semua bahan utama yang dibutuhkan tubuh untuk pembentukan hormon tyroid. Bahan yang mengandung iodium diserap usus, masuk ke dalam sirkulasi darah dan ditangkap paling banyak oleh kelenjar tyroid. Dalam kelenjar, iodium dioksida menjadi bentuk yang aktif yang distimuler oleh Tiroid Stimulating Hormon kemudian disatukan menjadi molekul tiroksin yang terjadi pada fase sel koloid. Senyawa yang terbentuk dalam molekul diyodotironin membentuk tiroksin (T4) dan molekul yoditironin (T3). Tiroksin (T4) menunjukkan pengaturan umpan balik negatif dari sekresi Tiroid Stimulating Hormon dan bekerja langsung pada tirotropihypofisis, sedang tyrodotironin (T3) merupakan hormon metabolik tidak aktif. Beberapa obat dan keadaan dapat mempengaruhi sintesis, pelepasan dan metabolisme tyroid sekaligus menghambat sintesis tiroksin (T4) dan melalui rangsangan umpan balik negatif meningkatkan pelepasan TSH oleh kelenjar hypofisis. Keadaan ini menyebabkan pembesaran kelenjar tyroid.

E. PATH WAY


protein dan mukopoli sakarida Mixedema sintesa T3 dan T4

mengikat air

F. PENATALAKSANAAN

Terapi struma antara lain dengan penekanan TSH oleh tiroksin, yaitu pengobatan yang akan mengakibatkan penekanan TSH hipofisis, dan penghambatan fungsi tiroid disertai atrofi kelenjar tiroid. Pembedahan dapat dianjurkan untuk struma yang besar untuk menghilangkan gangguan mekanis dan kosmetis yang diakibatkannya. Pada masyarakat tempat struma timbul sebagai akibat kekurangan yodium, garam dapur harus diberi tambahan yodium.

F. PENGKAJIAN

1. Pengumpulan data

Anamnese

Dari anamnese diperoleh:

1). Identifikasi klien.

2). Keluhan utama klien.

Pada klien post operasi thyroidectomy keluhan yang dirasakan pada umumnya adalah nyeri akibat luka operasi.

3). Riwayat penyakit sekarang

Biasanya didahului oleh adanya pembesaran nodul pada leher yang semakin membesar sehingga mengakibatkan terganggunya pernafasan karena penekanan trakhea eusofagus sehingga perlu dilakukan operasi.

4). Riwayat penyakit dahulu

Perlu ditanyakan riwayat penyakit dahulu yang berhubungan dengan penyakit gondok, misalnya pernah menderita gondok lebih dari satu kali, tetangga atau penduduk sekitar berpenyakit gondok.

5). Riwayat kesehatan keluarga

Dimaksudkan barangkali ada anggota keluarga yang menderita sama dengan klien saat ini.

6). Riwayat psikososial

Akibat dari bekas luka operasi akan meninggalkan bekas atau sikatrik sehingga ada kemungkinan klien merasa malu dengan orang lain.

2. Pemeriksaan fisik

a. Keadaan umum

Pada umumnya keadaan penderita lemah dan kesadarannya composmentis dengan tanda-tanda vital yang meliputi tensi, nadi, pernafasan dan suhu yang berubah.

b. Kepala dan leher

Pada klien dengan post operasi thyroidectomy biasanya didapatkan adanya luka operasi yang sudah ditutup dengan kasa steril yang direkatkan dengan hypafik serta terpasang drain. Drain perlu diobservasi dalam dua sampai tiga hari.

c. Sistim pernafasan

Biasanya pernafasan lebih sesak akibat dari penumpukan sekret efek dari anestesi, atau karena adanya darah dalam jalan nafas.

d. Sistim Neurologi

Pada pemeriksaan reflek hasilnya positif tetapi dari nyeri akan didapatkan ekspresi wajah yang tegang dan gelisah karena menahan sakit.

e. Sistim gastrointestinal

Komplikasi yang paling sering adalah mual akibat peningkatan asam lambung akibat anestesi umum, dan pada akhirnya akan hilang sejalan dengan efek anestesi yang hilang.

f. Aktivitas/istirahat

insomnia, otot lemah, gangguan koordinasi, kelelahan berat, atrofi otot.

g. Eliminasi

urine dalam jumlah banyak, perubahan dalam faeces, diare.

h. Integritas ego

mengalami stres yang berat baik emosional maupun fisik, emosi labil, depresi.

i. Makanan/cairan

kehilangan berat badan yang mendadak, nafsu makan meningkat, makan banyak, makannya sering, kehausan, mual dan muntah, pembesaran tyroid.

j. Rasa nyeri/kenyamanan

nyeri orbital, fotofobia.

k. Keamanan

tidak toleransi terhadap panas, keringat yang berlebihan, alergi terhadap iodium (mungkin digunakan pada pemeriksaan), suhu meningkat di atas 37,40C, diaforesis, kulit halus, hangat dan kemerahan, rambut tipis, mengkilat dan lurus, eksoptamus : retraksi, iritasi pada konjungtiva dan berair, pruritus, lesi eritema (sering terjadi pada pretibial) yang menjadi sangat parah.

l. Seksualitas

libido menurun, perdarahan sedikit atau tidak sama sekali, impotensi.

3. Pemeriksaan penunjang

a. Pemeriksaan penunjang

- Human thyrologlobulin( untuk keganasan thyroid)

- Kadar T3, T4

Nilai normal T3=0,6-2,0 , T4= 4,6-11

- Darah rutin

- Endo Crinologiie minimal tiga hari berturut turut (BMR) nilai normal antara –10s/d +15

- Kadar calsitoxin (hanya pada pebnderita tg dicurigai carsinoma meduler).

b. Pemeriksaan radiologis

- Dilakukan foto thorak posterior anterior

- Foto polos leher antero posterior dan lateral dengan metode soft tissu technig .

- Esofagogram bila dicurigai adanya infiltrasi ke osofagus.

G. DIAGNOSA KEPERAWATAN

Adapun diagnosa yang sering timbul pada penderita post operasi theroidectomy adalah

  1. Gangguan jalan nafas yang berhubungan dengan obstruksi trakhea secunder terhadap perdarahan, spasme laring yang ditandai dengan sesak nafas, pernafasan cuping hidung sampai dengan sianosis.
  2. Gangguan komunikasi verbal sehubungan dengan nyeri, kerusakan nervus laringeal yang ditandai dengan klien sulit berbicara dan hilang suara.
  3. Gangguan rasa nyaman (nyeri) sehubungan dengan dampak pembedahan, udema otot, terputusnya jaringan syaraf, yang ditandai ekspresi wajah tampak tegang.
  4. Kurangnya pengetahuan yang berhubungan dengan salah interprestasi yang ditandai dengan sering bertanya tentang penyakitnya.
  5. Potensial terjadinya perdarahan berhubungan dengan terputusnya pembuluh darah sekunder terhadap pembedahan.

H. PERENCANAAN

Rencana tindakan yang dilakukan pada klien post operasi thyroidectomy meliputi

Diagnosa pertama

1.Tujuan:

Jalan nafas klien efektif

2. Kriteria:

Tidak ada sumbatan pada trakhea

3. Rencana tindakan:

- Monitor pernafasan dan kedalaman dan kecepatan nafas.

- Dengarkan suara nafas, barangkali ada ronchi.

- Observasi kemungkinan adanya stridor, sianosis.

- Atur posisi semifowler

- Bantu klien dengan teknik nafas dan batuk efektif.

- Melakukan suction pada trakhea dan mulut.

- Perhatikan klien dalam hal menelan apakah ada kesulitan.

4. Rasional

- Mengetahui perkembangan dari gangguan pernafasan.

- Ronchi bisa sebagai indikasi adanya sumbatan jalan nafas.

- Indikasi adanya sumbatan pada trakhea atau laring.

- Memberikan suasana yang lebih nyaman.

- Memudahkan pengeluaran sekret, memelihara bersihan jalan nafas.dan ventilsassi

- Sekresi yang menumpuk mengurangi lancarnya jalan nafas.

- Mungkin ada indikasi perdarahan sebagai efek samping opersi.

Diagnosa keperawatan kedua

1. Tujuan :

Klien dapat komunikasi secara verbal

2. Kriteria hasil:

Klien dapat mengungkapkan keluhan dengan kata-kata.

3. Rencana tindakan:

- Kaji pembicaraan klien secara periodik

- Lakukan komunikasi dengan singkat dengan jawaban ya/tidak.

- Kunjungi klien sesering mungkin

- Ciptakan lingkungan yang tenang.

4. Rasionalisasi:

- Suara parau dan sakit pada tenggorokan merupakan faktor kedua dari odema jaringan / sebagai efek pembedahan.

- Mengurangi respon bicara yang terlalu banyak.

- Mengurangi kecemasan klien

- Klien dapat mendengar dengan jelas komunikasi antara perawat dan klien.

Diagnosa keperawatan ketiga

1. Tujuan:

Rasa nyeri berkurang

2. Kriteria hasil:

Dapat menyatakan nyeri berkurang, tidak adanya perilaku uyg menunjukkan adanya nyeri.

3. Rencana tindakan

- Atur posisi semi fowler, ganjal kepala /leher dengan bantal kecil

- Kaji respon verbal /non verbal lokasi, intensitas dan lamanya nyeri.

- Intruksikan pada klien agar menggunakan tangan untuk menahan leher pada saat alih posisi .

- Beri makanan /cairan yang halus seperti es krim.

- Lakukan kolaborasi dengan dokter untuk pemberian analgesik.

4. Rasionalisasi

- Mencegah hyperekstensi leher dan melindungi integritas pada jahitan pada luka.

- Mengevaluasi nyeri, menentukan rencana tindakan keefektifan terapi.

- Mengurangi ketegangan otot.

- Makanan yang halus lebih baik bagi klien yang menjalani kesulitan menelan.

- Memutuskan transfusi SSP pada rasa nyeri.

Diagnosa keperawatan keempat

1. Tujuan:

Pengetahuan klien bertambah.

2. Kriteria hasil:

Klien berpartisipasi dalam program keperawatan

3. Rencana tindakan:

- Diskusikan tentang keseimbangan nutrisi.

- Hindari makanan yang banyak mengandung zat goitrogenik misalnya makanan laut, kedelai, Lobak cina dll.

- Konsumsikan makanan tinggi calsium dan vitamin D.

4. Rasionalisasi:

- Mempertahankan daya tahan tubuh klien.

- Kontraindikasi pembedahan kelenjar thyroid.

- Memaksimalkan suplai dan absorbsi kalsium.

Diagnosa keperawatan kelima

1. Tujuan

Perdarahan tidak terjadi.

2. Kriteria hasil

Tidak terdapat adanya tanda-tanda perdarahan.

3. Rencana tindakan:

- Observasi tanda-tanda vital.

- Pada balutan tidak didapatkan tanda-tanda basah karena darah.

- Dari drain tidak terdapat cairan yang berlebih.( > 50 cc).

4. Rasionalisasi:

- Dengan mengetahui perubahan tanda-tanda vital dapat digunakan untuk mengetahui perdarahan secara dini.

- Dengan adanya balutan yang basah berarti adanya perdarahan pada luka operasi.

- Cairan pada drain dapat untuk mengetahui perdarahan luka operasi.

I. EVALUASI

1. teruskan bila masalah masih ada.

2. Revisi/modifikasi bila masalah ada tetapi rencana dirubah

3. Terpecahkan jika masalah berhasil dipecahkan.

DAFTAR PUSTAKA

Carpenito, Lynda Juall, 2000, Diagnosa Keperawatan, Alih Bahasa : Yasmin Asih, Editor : Tim Editor EGC Edisi 26, EGC Jakarta

Prince S.A, Wilson L.M, 2006, Patofisologi: Konsep Klinis Proses-Proses Penyakit, Penerbit Buku Kedokteran : EGC, Jakarta

Brunner dan Suddarth, (2001) Keperawatan Medikal Bedah, edisi 8, volume 2, penerbit EGC.

Guyton, C. Arthur, (1991), Fisiologi Manusia dan Mekanisme Penyakit, Missisipi; Departemen of Physiology and Biophysis. EGC. Penerbit Buku Kedokteran. Jakarta.

Junadi, Purnawan,(2000), Kapita Selekta Kedokteran, edisi ke III, penerbit FKUI, Jakarta.

Long, Barbara C, (1996), Keperawatan Medikal Bedah, EGC. Penerbit Buku Kedokteran, Jakarta.

Tucker, Susan Martin(1998), Standar Perawatan Pasien, Penerbit buku kedokteran, EGC. Jakarta.

Rabu, 30 Maret 2011

PENJAHITAN LUKA

Jahitan digunakan untuk hemostasis atau untuk menghubungkan struktur anatomi yang terpotong (Sabiston,1995). Menurut Sodera dan Saleh (1991), jahitan merupakan hasil penggunaan bahan berupa benang untuk mengikat atau ligasi pembuluh darah dan menghubungkan antara dua tepi luka. Dari pengertian diatas dapat disimpulkan bahwa penjahitan merupakan tindakan menghubungkan jaringan yang terputus atau terpotong untuk mencegah pendarahan dengan menggunakan benang.

INDIKASI

Setiap luka dimana untuk penyembuhannya perlu mendekatkan tepi luka.

LUKA

Definisi

Luka adalah semua kerusakan kontinnuitas jaringan akibat trauma mekanis.

Trauma tajam menyebabkan :

a. luka iris : vulnus scissum/incicivum

b. luka tusuk : vulnus ictum

c. luka gigitan : vulnus morsum

Trauma tumpul menyebabkan :

a. luka terbuka : vulnus apertum

b. luka tertutup : vulnus occlusum ( excoriasi dan hematom )

Luka tembakan menyebabkan : vulnus sclopetorum.

Klasiflkasi luka berdasar ada tidaknya kuman :

a. luka steril : luka dibuat waktu operasi

b. luka kontaminasi : luka mengandung kuman tapi kurang dari 8 jam .

(golden period)

c. luka infeksi luka yang mengandung kuman dan telah berkembangbiak dan telah timbul gejala lokal maupun gejala umum.(rubor, dolor, calor, tumor, fungsio lesa).

Prinsip Umum Penjahitan luka

Menurut Brown (1995), prinsip–prinsip umum yang harus dilaksanakan dalam penjahitan luka laserasi adalah sebagai berikut :

  1. Penyembuhan akan terjadi lebih cepat bila tepi-tepi kulit dirapatkan satu sama lain dengan hati-hati.
  2. Tegangan dari tepi–tepi kulit harus seminimal mungkin atau kalau mungkin tidak ada sama sekali. Ini dapat dicapai dengan memotong atau merapikan kulit secara hati–hati sebelum dijahit.
  3. Tepi kulit harus ditarik dengan ringan, ini dilakukan dengn memakai traksi ringan pada tepi–tepi kulit dan lebih rentan lagi pada lapisan dermal daripada kulit yang dijahit.
  4. Setiap ruang mati harus ditutup, baik dengan jahitan subcutaneus yang dapat diserap atau dengan mengikutsertakan lapisan ini pada waktu mmenjahit kulit.
  5. Jahitan halus tetapi banyak yang dijahit pada jarak yang sama lebih disukai daripada jahitan yang lebih besar dan berjauhan.
  6. Setiap jahitan dibiarkan pada tempatnya hanya selama diperlukan. Oleh karena itu jahitan pada wajah harus dilepas secepat mungkin (48 jam–5 hari), sedangkan jahitan pada dinding abdomen dan kaki harus dibiarkan selama 10 hari atau lebih.
  7. Semua luka harus ditutup sebersih mungkin.
  8. Pemakaian forsep dan trauma jaringan diusahakan seminimal mungkin.

Menurut Sodera dan Saleh (1991), penjahitan merupakan suatu cara menjahit untuk mendekatkan atau menghubungkan dua tepi luka. Dapat dibedakan menjadi :

  1. Jahitan Primer (primary Suture Line) adalah jahitan yang digunakan untuk mempertahankan kedudukan tepi luka yang saling dihubungkan selama proses penyembuhan sehingga dapat sembuh secara primer.
  2. Jahitan Kontinyu yaitu jahitan dengan sejumlah penjahitan dari seluruh luka dengan menggunakan satu benang yang sama dan disimpulkan pada akhir jahitan serta dipotong setelah dibuat simpul. Digunakan untuk menjahit peritonium kulit, subcutis dan organ.
  3. Jahitan Simpul/Kerat/Knot, yaitu merupakan tehnik ikatan yang mengakhiri suatu jahitan. Digunakan untuk memperkuat dan mempertahankan jahitan luka sehingga jahitan tidak terlepas atau mengendor. Yang dimaksud dengan jerat adalah pengikatan satu kali, sedang simpul adalah pengikatan dengan dua jerat atau lebih.

Jenis–jenis benang yang digunakan dalam penjahitan

  1. Seide (Silk/Sutra): Bersifat tidak licin seperti sutera biasa karena sudah dikombinasi dengan perekat, tidak diserap oleh tubuh. Pada penggunaan disebelah luar, maka benang harus dibuka kembali. Berguna untuk menjahit kulit, mengikat pembuluh arteri besar. Ukuran yang sering digunakan adalah nomor 2 nol 3 nol, 1 nol dan nomor 1.
  2. Plain Catgut: Bersifat dapat diserap tubuh, penyerapan berlangsung dalam waktu 7–10 hari dan warnanya putih kekuningan. Berguna untuk mengikat sumber pendarahan kecil, menjahit subcutis dan dapat pula digunakan untuk bergerak dan luas lukanya kecil. Benang ini harus dilakukan penyimpulan 3 kali karena dalam tubuh akan mengembang. Bila penyimpulan dilakukan hanya 2 kali akan terbuka kembali.
  3. Chromic Catgut: Bersifat dapat diserap oleh tubuh, penyerapannya lebih lama yaitu sampai 20 hari. Chromic Catgut biasanya menyebabkan reaksi inflamasi yang lebih besar dibandingkan dengan plain catgut. Berguna untuk penjahitan luka yang dianggap belum merapat dalam waktu 10 hari dan bila mobilitas harus segera dilakukan.

JENIS-JENIS BENANG

Benang yang dapat diserap (Absorbable Suture )
a. Alami ( Natural)
1). Plain Cat Gut : dibuat dari bahan kolagen sapi atau domba. Benang ini hanya memiliki daya serap pengikat selama 7-19 hari dan akan diabsorbsi secara sempurna dalam waktu 70 hari. 2). Chromic Cat Gut dibuat dari bahan yang sama dengan plain cat gut , namum dilapisi dengan garam Chromium untuk memperpanjang waktu absorbsinya sampai 90 hari.

b. Buatan ( Synthetic ) Adalah benang- benang yang dibuat dari bahan sintetis, seperti Polyglactin ( merk dagang Vicryl atau Safil), Polyglycapron ( merk dagang Monocryl atau Monosyn), dan Polydioxanone ( merk dagang PDS II ). Benang jenis ini memiliki daya pengikat lebih lama , yaitu 2-3 minggu, diserap secara lengkap dalam waktu 90-120 hari.

Benang yang tak dapat diserap ( nonabsorbable suture )

a. Alamiah ( Natural) Dalam kelompok ini adalah benang silk ( sutera ) yang dibuat dari protein organik bernama fibroin, yang terkandung di dalam serabut sutera hasil produksi ulat sutera.

b. Buatan ( Synthetic ) Dalam kelompok ini terdapat benang dari bahan dasar nylon ( merk dagang Ethilon atau Dermalon ). Polyester ( merk dagang Mersilene) dan Poly propylene ( merk dagang Prolene ).

Komplikasi menjahit luka

  1. Overlapping: Terjadi sebagai akibat tidak dilakukan adaptasi luka sehingga luka menjadi tumpang tindih dan luka mengalami penyembuhan yang lambat dan apabila sembuh maka hasilnya akan buruk.
  2. Nekrosis: Jahitan yang terlalu tegang dapat menyebabkan avaskularisasi sehingga menyebabkan kematian jaringan.
  3. Infeksi: Infeksi dapat terjadi karena tehnik penjahitan yang tidak steril, luka yang telah terkontaminasi, dan adanya benda asing yang masih tertinggal.
  4. Perdarahan: Terapi antikoagulan atau pada pasien dengan hipertensi.
  5. Hematoma: Terjadi pada pasien dengan pembuluh darah arteri terpotong dan tidak dilakukan ligasi/pengikatan sehingga perdarahan terus berlangsung dan menyebabkan bengkak.
  6. Dead space (ruang/rongga mati): Yaitu adanya rongga pada luka yang terjadi karena penjahitan yang tidak lapis demi lapis.
  7. Sinus: Bila luka infeksi sembuh dengan meninggalkan saluran sinus, biasanya ada jahitan multifilament yaitu benang pada dasar sinus yang bertindak sebagai benda asing.
  8. Dehisensi: Adalah luka yang membuka sebelum waktunya disebabkan karena jahitan yang terlalu kuat atau penggunaan bahan benang yang buruk.
  9. Abses: Infeksi hebat yang telah menghasilkan produk pus/nanah.

PENGENALAN ALAT DAN BAHAN PENJAHITAN

Alat dan bahan yang diperlukan pada penjahitan luka :

Alat (Instrumen)
a. Tissue forceps ( pinset ) terdiri dari dua bentuk yaitu tissue forceps
bergigi ujungnya ( surgical forceps) dan tanpa gigi di ujungnya yaitu
atraumatic tissue forceps dan dressing forceps.
b. Scalpel handles dan scalpel blades
c. Dissecting scissors ( Metzen baum )
d. Suture scissors
e. Needleholders
f. Suture needles ( jarum ) dari bentuk 2/3 circle, Vi circle , bentuk
segitiga dan bentuk bulat
g. Sponge forceps (Cotton-swab forceps)
h. Hemostatic forceps ujung tak bergigi ( Pean) dan ujung bergigi (Kocher)
i. Retractors, double ended
j. Towel clamps

Bahan
a. Benang (jenis dan indikasi dijelaskan kemudian )
b. Cairan desifektan : Povidon-iodidine 10 % (Bethadine )
c. Cairan Na Cl 0,9% dan perhydrol 5 % untuk mencuci luka.
d. Anestesi lokal lidocain 2%.
e. Sarung tangan.
f. Kasa steril.

CARA MEMEGANG ALAT

a. Instrument tertentu seperti pemegang jarum, gunting dan pemegang kasa: yaitu ibu jari dan jari keempat sebagai pemegang utama, sementara jari kedua dan ketiga dipakai untuk memperkuat pegangan tangan. Untuk membuat simpul benang setelah jarum ditembuskan pada jaringan, benang dilingkarkan pada ujung pemegang jarum.

b. Pinset lazim dipegang dengan tangan kiri, di antara ibujari serta jari kedua dan ketiga. Jarum dipegang di daerah separuh bagian belakang .

c. Sarung tangan dipakai menurut teknik tanpa singgung.

PERSIAPAN ALAT

Sterilisasi dan cara sterilisasi
Sterilisasi adalah tindakan untuk membuat suatu alat-alat atau bahan dalam keadaan steril.

Sterilisasi dapat dilakukan dengan cara :
a. Secara kimia : yaitu dengan bahan yang bersifat bakterisid , seperti formalin, savlon, alkohol.
b. Secara fisik yaitu dengan :
1) Panas kering ( oven udara panas )
♦ Selama 20 menit pada 200° C
♦ Selama 30 menit pada 180° C
♦ Selama 90 menit pada 160° C

2). Uap bertekanan ( autoclave): selama 15 menit pada 120° C dan tekanan 2 atmosfer

3). Panas basah, yaitu di dalam air mendidih selama 30 menit. Cara ini hanya dianjurkan bila cara lain tidak tersedia.

Pengepakan
Sebelum dilakukan sterilisasi secara fisik, semua instrument harus dibungkus dengan dua lapis kain secara rapat yang diikutkan dalam proses sterilisasi. Pada bagian luar pembungkus , ditempelkan suatu indikator ( yang akan berubah warna ) setelah instrument tersebut menjadi steril. Untuk mempertahankan agar instrument yang dibungkus tetap dalam keadaan steril, maka kain pembungkus dibuka menurut” teknik tanpa singgung.

PERSIAPAN PENJAHITAN ( KULIT)
a. Rambut sekitar tepi luka dicukur sampai bersih.
b. Kulit dan luka didesinfeksi dengan cairan Bethadine 10%, dimulai dari bagian tengah kemudian menjauh dengan gerakan melingkar.
c. Daerah operasi dipersempit dengan duk steril, sehingga bagian yang terbuka hanya bagian kulit dan luka yang akan dijahit.
d. Dilakukan anestesi local dengan injeksi infiltrasi kulit sekitar luka.
e. Luka dibersihkan dengan cairan perhydrol dan dibilas dengan cairan NaCl.
f. Jaringan kulit, subcutis, fascia yang mati dibuang dengan menggunakan pisau dan gunting.
g. Luka dicuci ulang dengan perhydrol dan dibilas dengan NacCl.
h. Jaringan subcutan dijahit dengan benang yang dapat diserap yaitu plain catgut atau poiiglactin secara simple interrupted suture. i. Kulit dijahit benang yang tak dapat diserap yaitu silk atau nylon.

TEKNIK PENJAHITAN KULIT

Prinsip yang harus diperhatikan :
a. Cara memegang kulit pada tepi luka dengan surgical forceps harus dilakukan secara halus dengan mencegah trauma lebih lanjut pada jaringan tersebut.
b. Ukuran kulit yang yang diambil dari kedua tepi luka harus sama besarnya.
c. Tempat tusukan jarum sebaiknya sekitar 1-3 cm dari tepi lukia.Khusus” daerah wajah 2-3mm.
d. Jarak antara dua jahitan sebaiknya kurang lebih sama dengan tusukan jarum dari tepi luika.
e. Tepi luka diusahakan dalam keadaan terbuka keluar ( evferted ) setelah penjahitan.

SIMPLE INTERUPTED SUTURE
A. Indikasi: pada semua luka
Kontra indikasi : tidak ada Teknik penjahitan

Dilakukan sebagai berikut:
a. Jarum ditusukkan pada kulit sisi pertama dengan sudut sekitar 90 derajat, masuk subcutan terus kekulit sisi lainnya.
b. Perlu diingat lebar dan kedalam jaringan kulit dan subcutan diusahakan agar tepi luka yang dijahit dapat mendekat dengan posisi membuka kearah luar ( everted)
c. Dibuat simpul benang dengan memegang jarum dan benang diikat.
d. Penjahitan dilakukan dari ujung luka keujung luka yang lain.

B. Indikasi : Luka pada persendian
Luka pada daerah yang tegangannya besar
Kontra indikasi : tidak ada

Teknik penjahitan ini dilakukan untuk mendapatkan eversi tepi luka dimana tepinya cenderung mengalami inverse. misalnya kulit yang tipis. Teknik ini dilakukan sebagai berikut:
1. Jarum ditusukkan jauh dari kulit sisi luka, melintasi luka dan kulit sisi lainnya, kemudian keluar pada kulit tepi yang jauh, sisi yang kedua.
2. Jarum kemudian ditusukkan kembali pada tepi kulit sisi kedua secara tipis, menyeberangi luka dan dikeluarkan kembali pada tepi dekat kulit sisi yang pertama.
3. Dibuat simpul dan benang diikat.
SUBCUTICULER CONTINUOS SUTURE
Indikasi : Luka pada daerah yang memerlukan kosmetik
Kontra indikasi : jaringan luka dengan tegangan besar.

Pada teknik ini benang ditempatkan bersembunyi di bawah jaringan dermis sehingga yang terlihat hanya bagian kedua ujung benang yang terletak di dekat kedua ujung luka yang dilakukan sebagai berikut.
1. Tusukkan jarum pada kulit sekitar 1-2 cm dari ujung luka keluar di daerah dermis kulit salah satu dari tepi luka.
2. Benang kemudian dilewatkan pada jaringan dermis kulit sisi yang lain, secara bergantian terus menerus sampai pada ujung luka yang lain, untuk kemudian dikeluarkan pada kulit 1-2 cm dari ujung luka yang lain.
3. Dengan demikian maka benang berjalan menyusuri kulit pada kedua sisi secara parallel disepanjang luka tersebut.
JAHITAN PENGUNCI (FESTON)
Indikasi : Untuk menutup peritoneum
Mendekati variasi kontinyu (lihat gambar)