Jumat, 03 Juni 2011

LAPORAN PENDAHULUAN KONSEP NYERI NYERI PADA PASIEN POST APPENDICTOMY

A. PENGERTIAN

Nyeri merupakan pengalaman sensori dan emosional yang tidak menyenangkan akibat dari kerusakan jaringan yang aktual atau potensial. Nyeri terjadi bersama banyak proses penyakit atau bersamaan dengan beberapa pemeriksaan diagnostik atau pengobatan. Nyeri sangat mengganggu dan menyulitkan lebih banyak orang dibanding suatu penyakit manapun. Sehingga seseorang yang mengalami nyeri akan merasa terganggu kenyamanan.

Nyeri didefinisikan sebagai suatu keadaan yang mempengaruhi seseorang dan ekstensinya diketahui bila seseorang pernah mengalaminya (Tamsuri, 2007).

Menurut International Association for Study of Pain (IASP), nyeri adalah sensori subyektif dan emosional yang tidak menyenangkan yang didapat terkait dengan kerusakan jaringan aktual maupun potensial, atau menggambarkan kondisi terjadinya kerusakan

Nyeri dibagi menjadi dua bagian berdasarkan waktu, yakni:

1. Nyeri akut: terjadi secara tiba-tiba dan umumnya berkaitan dengan cedera spesifik. Nyeri akut mengindikasikan bahwa kerusakan atau cedera telah terjadi.

2. Nyeri Kronik: nyeri konstan atau intermiten yang menetap sepanjang suatu periode waktu. Nyeri ini berlangsung di luar waktu penyembuhan yang diperkirakan dan sering tidak dapat dikaitkan dengan penyebab atau cedera spesifik.

B. FISIOLOGI NYERI

Reseptor nyeri adalah organ tubuh yang berfungsi untuk menerima rangsang nyeri. Organ tubuh yang berperan sebagai reseptor nyeri adalah ujung syaraf bebas dalam kulit yang berespon hanya terhadap stimulus kuat yang secara potensial merusak. Reseptor nyeri disebut juga nosireceptor, secara anatomis reseptor nyeri (nosireceptor) ada yang bermielien dan ada juga yang tidak bermielin dari syaraf perifer.

Berdasarkan letaknya, nosireseptor dapat dikelompokkan dalam beberapa bagaian tubuh yaitu pada kulit (Kutaneus), somatik dalam (deep somatic), dan pada daerah viseral, karena letaknya yang berbeda-beda inilah, nyeri yang timbul juga memiliki sensasi yang berbeda.

Nosireceptor kutaneus berasal dari kulit dan sub kutan, nyeri yang berasal dari daerah ini biasanya mudah untuk dialokasi dan didefinisikan. Reseptor jaringan kulit (kutaneus) terbagi dalam dua komponen yaitu :

1. Reseptor A delta

Merupakan serabut komponen cepat (kecepatan tranmisi 6-30 m/det) yang memungkinkan timbulnya nyeri tajam yang akan cepat hilang apabila penyebab nyeri dihilangkan

2. Serabut C

Merupakan serabut komponen lambat (kecepatan tranmisi 0,5 m/det) yang terdapat pada daerah yang lebih dalam, nyeri biasanya bersifat tumpul dan sulit dilokalisasi

Struktur reseptor nyeri somatik dalam meliputi reseptor nyeri yang terdapat pada tulang, pembuluh darah, syaraf, otot, dan jaringan penyangga lainnya. Karena struktur reseptornya komplek, nyeri yang timbul merupakan nyeri yang tumpul dan sulit dilokalisasi.

3. Reseptor nyeri jenis ketiga adalah reseptor viseral, reseptor ini meliputi organ-organ viseral seperti jantung, hati, usus, ginjal dan sebagainya. Nyeri yang timbul pada reseptor ini biasanya tidak sensitif terhadap pemotongan organ, tetapi sangat sensitif terhadap penekanan, iskemia dan inflamasi.

C. PENYEBAB/FAKTOR PREDISPOSISI

Berdasarkan penyebab, nyeri dapat disebabkan oleh rangsang mekanis (tusuk,

tembak, potong), listrik, termal (panas) atau kimia

D. KLASIFIKASI

Nyeri dibagi dalam 2 kategori, yaitu :

1. Nyeri Akut

Awitan : timbulnya mendadak.

Tujuan : mengindikasikan bahwa kerusakan atau cedera telah terjadi

Intensitas : ringan s.d. berat

Durasi : durasi singkat (dari beberapa detik sampai 6 bulan)

2. Nyeri Kronik

Tujuan : -
Awitan : terus menerus atau intermiten
Intensitas : ringan s.d. berat

Respon tingkah laku terhadap nyeri

Respon perilaku terhadap nyeri dapat mencakup:

1. Pernyataan verbal (Mengaduh, Menangis, Sesak Nafas, Mendengkur)

2. Ekspresi wajah (Meringis, Menggeletukkan gigi, Menggigit bibir)

3. Gerakan tubuh (Gelisah, Imobilisasi, Ketegangan otot, peningkatan gerakan jari & tangan

4. Kontak dengan orang lain/interaksi sosial (Menghindari percakapan, Menghindari kontak sosial, Penurunan rentang perhatian, Fokus pd aktivitas menghilangkan nyeri)

5. Individu yang mengalami nyeri dengan awitan mendadak dapat bereaksi sangat berbeda terhadap nyeri yang berlangsung selama beberapa menit atau menjadi kronis. Nyeri dapat menyebabkan keletihan dan membuat individu terlalu letih untuk merintih atau menangis. Pasien dapat tidur, bahkan dengan nyeri hebat. Pasien dapat tampak rileks dan terlibat dalam aktivitas karena menjadi mahir dalam mengalihkan perhatian terhadap nyeri.

Faktor yang mempengaruhi respon nyeri

1) Usia

Anak belum bisa mengungkapkan nyeri, sehingga perawat harus mengkaji respon nyeri pada anak. Pada orang dewasa kadang melaporkan nyeri jika sudah patologis dan mengalami kerusakan fungsi. Pada lansia cenderung memendam nyeri yang dialami, karena mereka mengangnggap nyeri adalah hal alamiah yang harus dijalani dan mereka takut kalau mengalami penyakit berat atau meninggal jika nyeri diperiksakan.

2) Jenis kelamin

Gill (1990) mengungkapkan laki-laki dan wnita tidak berbeda secara signifikan dalam merespon nyeri, justru lebih dipengaruhi faktor budaya (ex: tidak pantas kalo laki-laki mengeluh nyeri, wanita boleh mengeluh nyeri).

3) Kultur

Orang belajar dari budayanya, bagaimana seharusnya mereka berespon terhadap nyeri misalnya seperti suatu daerah menganut kepercayaan bahwa nyeri adalah akibat yang harus diterima karena mereka melakukan kesalahan, jadi mereka tidak mengeluh jika ada nyeri.

4) Makna nyeri

Berhubungan dengan bagaimana pengalaman seseorang terhadap nyeri dan dan bagaimana mengatasinya.

5) Perhatian

Tingkat seorang klien memfokuskan perhatiannya pada nyeri dapat mempengaruhi persepsi nyeri. Menurut Gill (1990), perhatian yang meningkat dihubungkan dengan nyeri yang meningkat, sedangkan upaya distraksi dihubungkan dengan respon nyeri yang menurun. Tehnik relaksasi, guided imagery merupakan tehnik untuk mengatasi nyeri.

6) Ansietas

Cemas meningkatkan persepsi terhadap nyeri dan nyeri bisa menyebabkan seseorang cemas.

7) Pengalaman masa lalu

Seseorang yang pernah berhasil mengatasi nyeri dimasa lampau, dan saat ini nyeri yang sama timbul, maka ia akan lebih mudah mengatasi nyerinya. Mudah tidaknya seseorang mengatasi nyeri tergantung pengalaman di masa lalu dalam mengatasi nyeri.

8) Pola koping

Pola koping adaptif akan mempermudah seseorang mengatasi nyeri dan sebaliknya pola koping yang maladaptive akan menyulitkan seseorang mengatasi nyeri.

9) Support keluarga dan sosial

Individu yang mengalami nyeri seringkali bergantung kepada anggota keluarga atau teman dekat untuk memperoleh dukungan dan perlindungan

Skala nyeri menurut bourbanis

Keterangan :

0 : Tidak nyeri

1-3 : Nyeri ringan : secara obyektif klien dapat berkomunikasi dengan baik.

4-6 : Nyeri sedang : Secara obyektif klien mendesis, menyeringai, dapat menunjukkan lokasi nyeri, dapat mendeskripsikannya, dapat mengikuti perintah dengan baik.

7-9 : Nyeri berat : secara obyektif klien terkadang tidak dapat mengikuti perintah tapi masih respon terhadap tindakan, dapat menunjukkan lokasi nyeri, tidak dapat mendeskripsikannya, tidak dapat diatasi dengan alih posisi nafas panjang dan distraksi

10 : Nyeri sangat berat : Pasien sudah tidak mampu lagi berkomunikasi.

E. PATHWAY

  • Dx. Nyeri

    Tumor
  • Cacing Didalam appendiks
  • Fekalit
  • Biji-bijian Sumbatan peneluaran sekret


Sumbatan pengeluaran secret mucus

  • Resti Infeksi
  • Nyeri
  • Cemas
Obstruksi pada apendiks

APPENDISITIS

Dx. Nyeri


Peningkatan tekanan luminal

Oklusi end arteri apendikularis

Nekrosisi

Gangren

Perforasi

Peritonitis efek anastesi ada luka post OP

OP

Apendiktomi Mual muntah Hipermetabolisme


Adanya luka insisi intake <<

o Resti kurang volume cairan

o Resti kurang nutrisi

o Nyeri

o Resti infeksi

o Kurang pegetahuan


F. PENGKAJIAN

Dalam pengkajian nyeri menggunakan tehnik PQRST

P(provokes) : apa yang menimbulkan nyeri ( aktivitas, spontan, stress, setelah makan dll)?

Q(Quality) : apakah tumpul, tajam, tertekan, dalam, permukaan dll? Apakah pernah merasakan nyeri seperti itu sebelumnya?

R (radiation atau Relief) : apakah menyebar ( rahang, punggung, tangan dll)? Apa yang membuat lebih baik ( posisi) ? apa yang mempertambah buruk (inspirasi, pergerakan)?

S(Severity atau tanda dan gejala): jelaskan skala nyeri dan frekuensn. Apakah disertai dengan gejala seperti ( mual, muntah, pusing, diaphoresis, pucat, nafas pendek, sesak, tanda vital yang abnormal dll)?

T(time; mulai dan lama) : kapan mulai nyeri? Apakan konstan atau kadang – kadang? Bagaimana lama ? tiba – tiba atau bertahap? Frekuensi?

Dalam teori lain juga dijelaskan penggunaan tehnik COLDERRA

Characterictics : tumpul, tajam, tekanan ?

Onset : kapan mulai ?

Location : dimana terasa nyeri ?

Duration : berapa lama berakhir ? frekuensi?

Exacerbation : apa yang membuat bertambah buruk ?

Radiation : apakah menyebar ke bagian tubuh yang lain

Relief : apakah yang mengurangi rasa nyeri ?

Associated : mual, cemas dan respon autonom ?

G. DIAGNOSA KEPERAWATAN

Nyeri berhubungan dengan adanya insisi bedah, ditandai :

Data subjektif :pasien mengeluh nyeri

Data objektif : wajah mengkerut; otot tegang

H. RENCANA TINDAKAN KEPERAWATAN

Tujuan : pasien tidak mengalami nyeri atau nyeri menurun sampai tingkat yang dapat
diterima

Intervensi:

a) Mengkaji tingkat nyeri dengan skala 0 sampai 5

Rasional : informasi memberikan data dasar untuk mengevaluasi kebutuhan atau
keefektifan intervensi

b) Jika mungkin, gunakan prosedur-prosedur (misal pemantauan suhu non invasif, alat akses vena

Rasional : untuk meminimalkan rasa tidak aman

c) Evaluasi efektifitas penghilang nyeri dengan derajat kesadaran dan sedasi

Rasional : untuk menentukan kebutuhan perubahan dosis. Waktu pemberian atau obat

d) Lakukan teknik pengurangan nyeri non farmakologis yang tepat

Rasional : sebagai analgetik tambahan

e) Berikan obat-obat anti nyeri secara teratur

Rasional : untuk mencegah kambuhnya nyeri

Sumber :

1. Perry dan Potter, 2002, Fundamental Keperawatan, Edisi 4, Penerbit buku kedokteran :EGC

2. Tarwoto dan Wartonah, 2000, Kebutuhan Dasar Manusia, Penerbit Medika Salemba : Jakarta

LAPORAN PENDAHULUAN POST PARTUS FISIOLOGIS

A. Pengertian Post Partum

Post partum adalah masa pulih kembali, mulai dari persalinan kembali sampai alat-alat kandungan kembali seperti sebelum hamil. Lama masa nifas ini yaitu 6 – 8 minggu (Mochtar, 1998). Akan tetapi seluruh alat genital akan kembali dalam waktu 3 bulan (Hanifa, 2002). Selain itu masa nifas / purperium adalah masa partus selesai dan berakhir setelah kira-kira 6 minggu (Mansjoer et.All. 1993).

Post portum / masa nifas dibagi dalam 3 periode (Mochtar, 1998) :

1. Puerperium dini yaitu kepulihan dimana ibu telah diperbolehkan berdiri dan berjalan-jalan.

2. Purperium intermedial yaitu kepulihan menyeluruh alat-alat genetalia yang lamanya mencapainya 6 – 8 minggu.

3. Remote puerperium yaitu waktu yang diperlukan untuk pulih dan sehat sempurna terutama bila selama hamil / waktu persalinan mempunyai komplikasi.

B. Perubahan fisiologis dalam masa nifas

Masa nifas merupakan masa kembalinya organ-organ reproduksi seperti sedia kala sebelum hakil, sehongga pada masa nifas banyak sekali perubahan-perubahan yang terjadi, diantaranya :

1. Perubahan dalam system reproduksi

a. Perubahan dalam uterus/rahim (involusi uterus)

b. Involusi tempat plasenta

c. Pengeluaran lochea

d. Perubahan pada perineum, vulva, dan vagina

2. Laktasi / pengeluaran Air Susu Ibu

Selama kehamilan horman estrogen dan progesterone menginduksi perkembangan alveolus dan duktus lactiferas dari dalam mamae dan juga merangsang kolostrum sesudah kelahiran bayi ketika kadar hormone esdtrogen menurun memungkinkan terjadinya kenaikan kadar hormone prolaktin dan produksi ASI pun dimulai.

3. Perubahan system Pencernaan

Wanita mungkin menjadi lapar dan siap makan kembali dalam 1 jam atau 2 jam setelah melahirkan. Konstipasi dapat terjadi pada masa nifas awal dikarenakan kekurangan bahan makanan selama persalinan dan pengendalian pada fase defekasi.

4. Perubahan system perkemihan

Pembentukan air seni oleh ginjal meningkat, namun ibu sering mengalami kesukaran dalam buang air kecil, karena :

- Perasaan untuk ingin BAK ibu kurang meskipun bladder penuh

- Uretra tersumbat karena perlukaan/udema pada dindingnya akibat oleh kepala bayi

- Ibu tidak biasa BAK dengan berbaring

5. Penebalan Sistem Muskuloskeletal

Adanya garis-garis abdomen yang tidak akan pernah menghilang dengan sempurna. Dinding abdomen melunak setelah melahirkan karena meregang setelah kehamilan. Perut menggantung sering dijumpai pada multipara.

6. Perubahan Sistem Endokrin

Kadar hormone-hormon plasenta, hormone plasenta laktogen (hpl) dan chorionia gonadotropin (HCG), turun dengan cepat dalam 2 hari, hpl sudah tidak terdeteksi lagi. Kadar estrogen dan progesterone dalam serum turun dengan cepat dalam 3 hari pertama masa nifas. Diantara wanita menyusui, kadar prolaktin meningkat setelah bayi disusui.

7. Perubahan Tanda-tanda Vital

Suhu badan wanita in partu tidak lebih dari 37,20C. Setelah partus dapat naik 0,50C dari keadaan normal, tetapi tidak melebihi 38,00C sesudah 12 jam pertama melahirkan. Bila >38,00C mungkin ada infeksi. Nadi dapat terjadi bradikardi, bila takikardi dan badan tidak panas dicurigai ada perdarahan berlebih/ada vitrum korelis pada perdarahan. Pada beberapa kasus ditemukan hipertensi dan akan menghilang dengan sendirinya apabila tidak ada penyakit-penyakit lain dalam kira-kira 2 bulan tanpa pengobatan.

8. Perubahan system kardiovaskuler

Sistem kardiovaskuler pulih kembali ke keadaan tidak hamil dalam tempo 2 minngu pertama masa nifas. Dalam 10 hari pertama setelah melahirkan peningkatan factor pembekuan yang terjadi selama kehamilan masih menetap namun diimbangi oleh peningkatan aktifitas fibrinolitik.

9. Perubahan Sistem Hematologik

Leukocytosis yang diangkat sel-sel darah putih berjumlah 15.000 selama persalinan, selanjutnya meningkat sampai 15.000 – 30.000 tanpa menjadi patologis jika wanita tidak mengalami persalinan yang lama/panjang.

Hb, HCT, dan eritrosit jumlahmya berubah-ubah pada awal masa nifas.

10. Perubahan Psikologis Postpartum

Banyak wanita dalam minggu pertama setelah melahirkan menunjukkan gejala-gejala depresi ringan sampai berat.

C. Tanda-tanda bahaya post partum

o Perdarahan vagina yang hebat atau tiba-tiba bertambah banyak

o Pengeluaran vagina yang baunya menusuk

o Rasa sakit di bagian bawah abdomen atau punggung

o Sakit kepala terus-menerus, nyeri ulu hati, atau masalah penglihatan

o Pembengkakan di wajah/tangan

o Demam, muntah, rasa sakit waktu BAK, merasa tidak enak badan

o Payudara yang berubah menjadi merah, panas, dan atau terasa sakit

o Kehilangan nafsu makan dalam waktu yang sama

o Rasa sakit, merah, lunak, dan pembengkakan di kaki

o Merasa sedih, merasa tidak mampu mengasuh sendiri bayinya/diri sendiri

o Merasa sangat letih/nafas terengah-engah

D. Perawatan Post Partum

Perawatan post partum dimulai sejak kala uri dengan menghindarkan adanya kemungkinan perdarahan post partum dan infeksi. Bila ada laserasi jalan lahir atau luka episiotomi, lakukan penjahitan dan perawatan luka dengan baik. Penolong harus tetap waspada sekurang-kurangnya 1 jam post partum, untuk mengatasi kemungkinan terjadinya perdarahan post partum. Delapan jam post partum harus tidur telentang untuk mencegah perdarahan post partum. Sesudah 8 jam, pasien boleh miring ke kanan atau ke kiri untuk mencegah trombhosis. Ibu dan bayi dapat ditempatkan dalam satu kamar. Pada hari seterusnya dapat duduk dan berjalan. Diet yang diberikan harus cukup kalori, protein, cairan serta banyak buah-buahan. Miksi atau berkemih harus secepatnya dapat dilakukan sendiri, bila pasien belum dapat berkemih sendiri sebaiknya dilakukan kateterisasi. Defekasi harus ada dalam 3 hari post partum. Bila ada obstipasi dan timbul komprestase hingga vekal tertimbun di rektum, mungkin akan terjadi febris. Bila hal ini terjadi dapat dilakukan klisma atau diberi laksan per os. Bila pasien mengeluh adanya mules, dapat diberi analgetika atau sedatif agar dapat istirahat. Perawatan mamae harus sudah dirawat selama kehamilan, areola dicuci secara teratur agar tetap bersih dan lemas, setelah bersih barulah bayi disusui.


E. Pathways

Letting go phase

post partum

Invasi bakteri

Kurang perawatan

Lokhea

keluar

Pelepasan jaringan endometrium

Kontraksi uterus

Hb O2 turun

Anemia akut

perdarahan

Vol. darah turun

Kontraksi

uterus lambat

Involusi uterus

Vol. Cairan turun

Atonia uteri

Payudara bengkak

Pembendungan ASI

Isapan bayi

adekuat

Isapan bayi

tidak adekuat

Prolaktin

meningkat

ASI tidak keluar

ASI keluar

Tidak efektif

efektif

Duktus & alveoli kontraksi

Oksitosin meningkat



F. Diagnosa Keperawatan

1. Gangguan rasa nyaman, nyeri akut b/d trauma perineum, proses kelahiran, payudara bengkak, dan involusi uterus

2. Kurang pengetahuan tentang manejemen laktasi dan perawatan bayi b/d kurangnya informasi

3. Kurangnya pengetahuan tentang perawatan post partum b/d kurangnya informasi

G. Intervensi

Beberapa diagnosa keperawatan yang mungkin ditemukan pada klien perdarahan post partum menurut prioritas dan rencana keperawatannya adalah :

a. Gangguan rasa nyaman, nyeri akut berhubungan dengan trauma perineum, proses kelahiran, payudara bengkak, dan involusi uterus (Carpenito, 1997).

Tujuan :

Setelah dilakukan tindakan keperawatan diharapkan nyeri berkurang atau hilang dengan kriteria hasil : pasien tidak mengeluh nyeri, ekspresi wajah tenang, skala nyeri dalam batas normal (2-3).

Intervensi keperawatan :

1. Berikan individu kesempatan untuk beristirahat.

Rasional: meningkatkan relaksasi

2. Ajarkan tindakan non infasif, seperti relaksasi.

Rasional: menurunkan tekanan vaskuler serebral

3. Kaji skala nyeri.

Rasional: mengidentifikasi tingkat nyeri

4. Ajarkan metode distraksi selama muncul nyeri akut.

Rasional: menurunkan tekanan vaskuler serebral

5. Beri posisi yang nyaman pada pasien.

Rasional: meningkatkan relaksasi/meminimalkan stimulus

6. Kolaborasi pemberian analgetik.

Rasional: menurunkan/mengotrol nyeri dan menurukan sitem saraf simpatis

b. Kurangnya pengetahuan tentang manajemen laktasi dan perawatan bayi berhubungan dengan kurangnya informasi (Carpenito, 1997).

Tujuan :

Pasien mengerti tentang manajemen laktasi dan perawatan bayi dengan kriteria hasil pasien mampu menjelaskan kembali mengenai informasi yang telah diberikan.

Intervensi keperawatan :

1. Kaji pengetahuan dan pengalaman menyusui, koreksi mitos dan kesalahan informasi.

2. Kaji tingkat pengetahuan klien tentang perawatan bayi yaitu perawatan tali pusat dan perawatan payudara.

3. Jelaskan mengenai gizi waktu menyusui.

4. Kaji respon klien dalam menerima pendidikan kesehatan.

5. Minta klien untuk menjelaskan kembali informasi yang telah diberikan.

c. Kurangnya pengetahuan tentang perawatan post partum berhubungan dengan kurangnya informasi (Tucker, 1993).

Tujuan :

Setelah dilakukan tindakan keperawatan klien dapat mengungkapkan pemahaman tentang perawatan diri post partum.

Intervensi keperawatan :

1. Anjurkan klien untuk menghindari coitus selama 4 – 6 minggu / sesuai anjuran dokter.

2. Demonstrasikan perawatan payudara dan ekspresi manual bila ibu menyusui.

3. Tekankan pentingnya diet nutrisi.

4. Anjurkan pasien untuk menghindari mengangkat apapun yang lebih berat dan bayi selama 2 -3 minggu.

5. Jelaskan perlunya dengan cermat pada bagian perineal.

6. Jelaskan ke klien untuk menghindari konstipasi.

7. Diskusikan gejala untuk dilaporkan kepada dokter.

8. Jelaskan bahwa lokhea dapat berlanjut selama 3 – 4 minggu perubahan dari merah menjadi coklat sampai putih.

9. Beritahu menstruasi akan kembali 6 – 8 minggu setelah perawatan.

10. Tekankan pentingnya rawat jalan terus menerus termasuk pemeriksaan post pasca partum.

11. Perawatan vagina/vulva hygien

DAFTAR PUSTAKA

1. Badan Penerbit Universitas Diponegoro (1991). Pelatihan Gawat Darurat Prenatal. Semarang : CV. Grafika Karya.

2. Carpenito, L. J. (1997). Hand Book of Nursing Diagnosis. Edisi VI. Jakarta : Penerbit Buku Kedokteran, EGC.

3. DEPKES RI Pusat Pendidikan Tenaga Kesehatan Jakarta (1995). Pencegahan dan Penanganan Perdarahan Pasca Persalinan. Jakarta : DEPKES RI

4. Doenges, M. E. (1999). Nursing Care Plans, Guidelines for Planning and Documentating Patient Care. Edisi III. Jakarta : Penerbit Buku Kedokteran, EGC.

5. Long, Barbara. C (1996). Essential of Medical Surgical Nursing. Cetakan I. Penerbit CV. Mosby Company, St. Louis, USA