Kamis, 28 Mei 2009

asuhan keperawatan ppok

BAB I

KONSEP DASAR


  1. PENDAHULUAN
    Penyakit Paru Obstruktif Kronik (PPOK) adalah penyakit paru kronik yang progresif, artinya penyakit ini berlangsung seumur hidup dan semakin memburuk secara lambat dari tahun ke tahun. Dalam perjalanan penyakit ini terdapat fase-fase eksaserbasi akut. Berbagai faktor berperan pada perjalanan penyakit ini, antara lain faktor resiko yaitu factor yang menimbulkan atau memperburuk penyakit seperti kebiasaan merokok, polusi udara, polusi lingkungan, infeksi, genetic dan perubahan cuaca. Derajat obtruksi saluran nafas yang terjadi, dan identifikasi komponen yang memugkinkan adanya reversibilitas. Tahap perjalanan penyakit dan penyakit lain diluar paru seperti sinusitis dan faringitis kronik. Yang pada akhirnya faktor-faktor tersebut membuat perburukan makin lebih cepat terjadi. Untuk melakukan penatalaksanaan PPOK perlu diperhatikan factor-faktor tersebut, sehingga pengobatan PPOK menjadi lebih baik.

Penyakit paru obstruksi kronik adalah klasifikasi luas dari gangguan yang mencakup bronkitis kronik, bronkiektasis, emfisema dan asma, yang merupakan kondisi ireversibel yang berkaitan dengan dispnea saat aktivitas dan penurunan aliran masuk dan keluar udara paru-paru.

Penyakit paru obstruksi kronik adalah kelainan paru yang ditandai dengan gangguan fungsi paru berupa memanjangnya periode ekspirasi yang disebabkan oleh adanya penyempitan saluran napas dan tidak banyak mengalami perubahan dalam masa observasi beberapa waktu.











BAB II

TINJAUAN TEORI


  1. DEFINISI
    Penyakit Paru Obstruktif Kronik (COPD) merupakan suatu istilah yang sering digunakan untuk sekelompok penyakit paru-paru yang berlangsung lama dan ditandai oleh peningkatan resistensi terhadap aliran udara sebagai gambaran patofisiologi utamanya. Ketiga penyakit yang membentuk satu kesatuan yang dikenal dengan COPD adalah : Bronchitis kronis, emfisema paru-paru dan asthma bronchiale (S Meltzer, 2001 : 595)‏. Tetapi dalam suatu Negara, yang termasuk didalam copd adalah emfisema paru- paru dan Bronchitis Kronis. Nama lain dari copd adalah “Chronic obstructive airway disease ” dan “ChronicObstructive Lung Diseases (COLD)”


  1. ANATOMI DAN FISIOLOGI










Anatomi fisiologi Paru-paru merupakan sebuah alat tubuh yang sebagian besar terdiri dari gelembung-gelembung (gelembung hawa = alveoli). Gelembung-gelembung alveoli ini terdiri dari sel-sel epitel dan endotel. Jika dibentangkan luas permukaannya lebih kurang 90 m2 pada lapisan inilah terjadi pertukaran udara, O2 masuk ke dalam darah dan C02 dikeluarkan dari darah. Banyaknya gelembung paru-paru ini kurang lebih 700.000.000 buah (paru-paru kiri dan kanan). Pembagian paru-paru; paru-paru dibagi 2 (dua) : Paru-paru kanan, terdiri dari 3 lobus (belah paru), Lobus Puimo dekstra superior, Lobus media, dan lobus inferior. Tiap lobus tersusun oleh lobulus. Paru-paru kiri, terdiri dari; Pulmo sinester lobus supe­rior dan lobus inferior. Tiap-tiap lobus terdiri dari belahan-belahan yang lebih kecil bernama segment. Paru-paru kiri mempunyai 10 segmen yaitu; 5 (lima) buah segment pada lobus superior, dan 5 (lima) buah segment pada inferior. Paru-paru kanan mempunyai 10 segmen yaitu;5 (lima) buah segmen pada lobus superior; 2 (dua) buah segmen pada lobus medialis, dan 3 (tiga) buah segmen pada lobus inferior. Tiap-tiap segmen ini masih terbagi lagi menjadi belahan-belahan yang bernama lobulus. Diantara lobulus satu dengan yang lainnya dibatasi oleh jaringan ikal yang berisi pembuluh-pembuluh darah getah bening dan saraf-saraf, dalam tiap-tiap lobulus terdapat sebuah bronkiolus. Di dalam lobulus, bronkiolus ini bercabang-cabang banyak sekali, cabang-cabang ini disebut duktus alveolus. Tiap-tiap duktus alveolus berakhir pada alveolus yang diameternya antara 0,2-0,3 mm. Letak paru-paru. Pada rongga dada datarannya menghadap ke tengah rongga dada/kavum mediastinum. Pada ba-gian tengah iiu tcrdapal lampuk paiu-paru alau hilus Pada mediastinum depan terletak jantung. Paru-paru dibungkus oleh selaput yang bernama pleura. Pleura dibagi menjadi 2 (dua):

        1. Pleura viseral (selaput dada pembungkus) yaitu selaput paru yang langsung membungkus paru-paru.

        2. Pleura parietal yaitu selaput yang melapisi rongga dada sebelah luar.

Antara kedua pleura ini terdapat rongga (kavum) yang disebut kavum pleura. Pada keadaan normal, kavum pleura ini vakum/hampa udara sehingga paru-paru dapat berkembang kempis dan, juga terdapat sedikit cairan (eskudat) yang berguna untuk rneminyaki permukaannya (pleura), menghindarkan gesekan antara paru-paru dan dinding dada dimana sewaktu bernapas bergerak.

Pembuluh darah pada paru, Sirkulasi pulmonar berasal dari ventrikel kanan yang tebal dinding 1/3 dan tebal ventrikel kiri, Perbedaan ini menyebabkan kekuatan kontraksi dan tekanan yang ditimbulkan jauh lebih kecil dibandingkan dengan tekanan yang ditimbulkan oleh kontraksi ventrikel kiri. Selain aliran melalui arteri pulmonal ada darah yang langsung mengalir ke paru-paru dad aorta melalui arteri bronkialis. Darah ini adalah darah "kaya oksigen" (oxyge-nated) dibandingkan dengan darah pulmonal yang relatif kekurangan oksigen. Darah ini kembali melalui vena pulmonalis ke atrium kiri. Arteri pulmonalis membawa darah yang sedikit mengandung 02 dari ventrikel kanan ke paru-paru. Cabang-cabangnya menyentuh saluran-saluran bronkial sampai ke alveoli halus. Alveoli itu membelah dan membentuk jaringan kapiler, dan jaringan kapiler itu menyentuh dinding alveoli (gelembung udara). Jadi darah dan udara hanya dipisahkan oleh dinding kapiler. Dari epitel alveoli, akhirnya kapiler menjadi satu sam­pai menjadi vena pulmonalis dan sejajar dengan cabang tenggorok yang keluar melalui tampuk paru-paru ke serambi jantung kiri (darah mengandung 02), sisa dari vena pulmonalis ditentukan dari setiap paru-paru oleh vena bronkialis dan ada yang mencapai vena kava inferior, maka dengan demikian paru-paru mempunyai persediaan darah ganda.

Kapasitas paru-paru. Merupakan kesanggupan paru-paru dalam menampung udara didalamnya. Kapasitas paru-paru dapat dibedakan sebagai berikut :

  1. Kapasitas total. Yaitu jumlah udara yang dapat mengisi paru-paru pada inspirasi sedalam-dalamnya. Dalam hal ini angka yang kita dapat tergantung pada beberapa hal: Kondisi paru-paru, umur, sikap dan bentuk seseorang,

  2. Kapasitas vital. Yaitu jumlah udara yang dapat dikeluarkan setelah ekspirasi maksimal Dalam keadaan yang normal kedua paru-paru dapat menampung udara sebanyak ± 5 liter.

Waktu ekspirasi, di dalam paru-paru masih tertinggal 3 liter udara. Pada waktu kita bernapas biasa udara yang masuk ke dalam paru-paru 2.600 cm3 (2 1/2 liter), Jumlah pernapasan. Dalam keadaan yang normal: Orang dewasa: 16-18 x/menit, Anak-anak kira-kira : 24x/menit, Bayi kira-kira : 30 x/menit, Dalam keadaan tertentu keadaan tersebut akan berubah, misalnya akibat dari suatu penyakit, pernafasan bisa bertambah cepat dan sebaliknya.

Beberapa hal yang berhubungan dengan pernapasan; bentuk menghembuskan napas dengan tiba-tiba yang kekuatannya luar biasa, akibat dari salah satu rangsangan baik yang berasal dari luar bahan-bahan kimia yang merangsang selaput lendir di jalan pernapasan. Bersin. Pengeluaran napas dengan tiba-tiba dari terangsangnya selaput lendir hidung, dalam hal ini udara keluar dari hidung dan mulut.


  1. KLASIFIKASI

Penyakit yang termasuk dalam kelompok penyakit paru obstruksi kronik adalah sebagai berikut:

  1. Bronkitis kronik

Bronkitis merupakan definisi klinis batuk-batuk hampir setiap hari disertai pengeluaran dahak, sekurang-kuranganya 3 bulan dalam satu tahun dan terjadi paling sedikit selama 2 tahun berturut-turut.

Etiologi

Terdapat 3 jenis penyebab bronchitis akut, yaitu :

    1. Infeksi : stafilokokus, sterptokokus, pneumokokus, haemophilus influenzae.

    2. Alergi

    3. Rangsang : misal asap pabrik, asap mobil, asap rokok dll.

Bronchitis kronis dapat merupakan komplikasi kelainan patologik yang mengenai beberapa alat tubuh, yaitu :

  1. Penyakit Jantung Menahun, baik pada katup maupun myocardium. Kongesti menahun pada dinding bronchus melemahkan daya tahannya sehingga infeksi bakteri mudah terjadi.

  2. Infeksi sinus paranasalis dan Rongga mulut, merupakan sumber bakteri yang dapat menyerang dinding bronchus.

  3. Dilatasi Bronchus (Bronchiectasi), menyebabkan gangguan susunan dan fungsi dinding bronchus sehingga infeksi bakteri mudah terjadi.

  4. Rokok, yang dapat menimbulkan kelumpuhan bulu getar selaput lender bronchus sehingga drainase lendir terganggu. Kumpulan lendir tersebut merupakan media yang baik untuk pertumbuhan bakteri.

Patofisiologi
Bronchitis akut dapat timbul dalam serangan tunggal atau dapat timbul kembali sebagai eksaserbasi akut dari bronchitis kronis. Pada infeksi saluran nafas bagian atas, biasanya virus, seringkali merupakan awal dari serangan bronchitis akut. Dokter akan mendiagnosa bronchitis kronis jika klien mengalami batuk atau produksi sputum selama beberapa hari + 3 bulan dalam 1 tahun dan paling sedikit dalam 2 tahun berturut-turut. Bronchitis timbul sebagai akibat dari adanya paparan terhadap agent infeksi maupun non-infeksi (terutama rokok tembakau). Iritan akan menyebabkan timbulnya respon inflamasi yang akan menyebabkan vasodilatasi, kongesti, edema mukosa dan bronchospasme.

Klien dengan bronchitis kronis akan mengalami :

  1. Peningkatan ukuran dan jumlah kelenjar mukus pada bronchi besar, yang mana akan meningkatkan produksi mukus.

  2. Mukus lebih kental

  3. Kerusakan fungsi cilliary sehingga menurunkan mekanisme pembersihan mukus. Oleh karena itu, “mucocilliary defence” dari paru mengalami kerusakan dan meningkatkan kecenderungan untuk terserang infeksi. Ketika infeksi timbul, kelenjar mukus akan menjadi hipertropi dan hiperplasia sehingga produksi mukus akan meningkat. Dinding bronchial meradang dan menebal (seringkali sampai dua kali ketebalan normal) dan mengganggu aliran udara. Mukus kental ini bersama-sama dengan produksi mukus yang banyak akan menghambat beberapa aliran udara kecil dan mempersempit saluran udara besar. Bronchitis kronis mula-mula mempengaruhi hanya pada bronchus besar, tetapi biasanya seluruh saluran nafas akan terkena. Mukus yang kental dan pembesaran bronchus akan mengobstruksi jalan nafas, terutama selama ekspirasi. Jalan nafas mengalami kollaps, dan udara terperangkap pada bagian distal dari paru-paru. Obstruksi ini menyebabkan penurunan ventilasi alveolar, hypoxia dan asidosis. Klien mengalami kekurangan oksigen jaringan ; ratio ventilasi perfusi abnormal timbul, dimana terjadi penurunan PaO2. Kerusakan ventilasi dapat juga meningkatkan nilai PaCO2. Klien terlihat cyanosis. Sebagai kompensasi dari hipoxemia, maka terjadi polisitemia (overproduksi eritrosit). Pada saat penyakit memberat, diproduksi sejumlah sputum yang hitam, biasanya karena infeksi pulmonary. Selama infeksi klien mengalami reduksi pada FEV dengan peningkatan pada RV dan FRC. Jika masalah tersebut tidak ditanggulangi, hypoxemia akan timbul yang akhirnya menuju penyakit cor pulmonal dan CHF

  1. Emfisema paru

Emfisema paru merupakan suatu definisi anatomik, yaitu suatu perubahan anatomik paru yang ditandai dengan melebarnya secara abnormal saluran udara bagian distal bronkus terminalis, yang disertai kerusakan dinding alveolus. Sesuai dengan definisi tersebut, maka jika ditemukan kelainan berupa pelebaran ruang udara (alveolus) tanpa disertai adanya destruksi jaringan maka keadaan ini sebenarnya tidak termasuk emfisema, melainkan hanya sebagai “overinflation”.

Patogenesis
Terdapat 4 perubahan patologik yang dapat timbul pada klien emfisema, yaitu :

    1. Hilangnya elastisitas paru. Protease (enzim paru) merubah atau merusakkan alveoli dan saluran nafas kecil dengan jalan merusakkan serabut elastin. Akibat hal tersebut, kantung alveolar kehilangan elastisitasnya dan jalan nafas kecil menjadi kollaps atau menyempit. Beberapa alveoli rusak dan yang lainnya mungkin dapat menjadi membesar.

    2. Hyperinflation Paru Pembesaran alveoli mencegah paru-paru untuk kembali kepada posisi istirahat normal selama ekspirasi.

    3. Terbentuknya Bullae Dinding alveolar membengkak dan berhubungan untuk membentuk suatu bullae (ruangan tempat udara) yang dapat dilihat pada pemeriksaan X ray.

    4. Kollaps jalan nafas kecil dan udara terperangkap Ketika klien berusaha untuk ekshalasi secara kuat, tekanan positif intratorak akan menyebabkan kollapsnya jalan nafas.

Tipe emfisema

Terdapat tiga tipe dari emfisema :

  1. Emfisema Centriolobular Merupakan tipe yang sering muncul, menghasilkan kerusakan bronchiolus, biasanya pada region paru atas. Inflamasi berkembang pada bronchiolus tetapi biasanya kantung alveolar tetap bersisa.

  2. Emfisema Panlobular (Panacinar) Merusak ruang udara pada seluruh asinus dan biasanya termasuk pada paru bagian bawah. Bentuk ini bersama disebut centriacinar emfisema, timbul sangat sering pada seorang perokok.

  3. Emfisema Paraseptal Merusak alveoli pada lobus bagian bawah yang mengakibatkan isolasi dari blebs sepanjang perifer paru. Paraseptal emfisema dipercaya sebagai sebab dari pneumothorax spontan. Panacinar timbul pada orang tua dan klien dengan defisiensi enzim alpha-antitripsin. Pada keadaan lanjut, terjadi peningkatan dyspnea dan infeksi pulmoner, seringkali timbul Cor Pulmonal (CHF bagian kanan) timbul.

Patofisiologi
Emfisema merupakan kelainan dimana terjadinya kerusakan pada dinding alveolar, yang mana akan menyebabkan overdistensi permanen ruang udara. Perjalanan udara terganggu akibat dari perubahan ini. Kesulitan selama ekspirasi pada emfisema merupakan akibat dari adanya destruksi dinding (septum) diantara alveoli, kollaps jalan nafas sebagian dan kehilangan elastisitas recoil. Pada saat alveoli dan septa kollaps, udara akan tertahan diantara ruang alveolar (disebut blebs) dan diantara parenkim paru (disebut bullae). Proses ini akan menyebabkan peningkatan ventilatory pada “dead space” atau area yang tidak mengalami pertukaran gas atau darah. Kerja nafas meningkat dikarenakan terjadinya kekurangan fungsi jaringan paru untuk melakukan pertukaran oksigen dan karbon dioksida. Emfisema juga menyebabkan destruksi kapiler paru, lebih lanjut terjadi penurunan perfusi oksigen dan penurunan ventilasi. Pada beberapa tingkat emfisema dianggap normal sesuai dengan usia, tetapi jika hal ini timbul pada awal kehidupan (usia muda), biasanya berhubungan dengan bronchitis kronis dan merokok.

  1. Asma

Asma merupakan suatu penyakit yang dicirikan oleh hipersensitivitas cabang-cabang trakeobronkial terhadap pelbagai jenis rangsangan. Keadaan ini bermanifestasi sebagai penyempitan saluran-saluran napas secara periodic dan reversible akibat bronkospasme.

  1. Bronkiektasis

Bronkiektasis adalah dilatasi bronkus dan bronkiolus kronik yan mungkin disebabkan oleh berbagai kondisi, termasuk infeksi paru dan obstruksi bronkus, aspirasi benda asing, muntahan, atau benda-benda dari saluran pernapasan atas, dan tekanan terhadap tumor, pembuluh darah yang berdilatasi dan pembesaran nodus limfe.


  1. ETIOLOGI

Etiologi penyakit ini belum diketahui. Penyakit ini dikaitkan dengan faktor-faktor risiko yang terdapat pada penderita antara lain:

  1. Merokok sigaret yang berlangsung lama

  2. Polusi udara

  3. Infeksi peru berulang

  4. Umur

  5. Jenis kelamin

  6. Ras

  7. Defisiensi alfa-1 antitripsin

  8. Defisiensi anti oksidan

Pengaruh dari masing-masing faktor risiko terhadap terjadinya PPOK adalah saling memperkuat dan faktor merokok dianggap yang paling dominan.


  1. PATOFISIOLOGI/PATHWAY

Fungsi paru mengalami kemunduran dengan datangnya usia tua yang disebabkan elastisitas jaringan paru dan dinding dada makin berkurang. Dalam usia yang lebih lanjut, kekuatan kontraksi otot pernapasan dapat berkurang sehingga sulit bernapas.

Fungsi paru-paru menentukan konsumsi oksigen seseorang, yakni jumlah oksigen yang diikat oleh darah dalam paru-paru untuk digunakan tubuh. Konsumsi oksigen sangat erat hubungannya dengan arus darah ke paru-paru. Berkurangnya fungsi paru-paru juga disebabkan oleh berkurangnya fungsi sistem respirasi seperti fungsi ventilasi paru.

Faktor-faktor risiko tersebut diatas akan mendatangkan proses inflamasi bronkus dan juga menimbulkan kerusakan apda dinding bronkiolus terminalis. Akibat dari kerusakan akan terjadi obstruksi bronkus kecil (bronkiolus terminalis), yang mengalami penutupan atau obstruksi awal fase ekspirasi. Udara yang mudah masuk ke alveoli pada saat inspirasi, pada saat ekspirasi banyak terjebak dalam alveolus dan terjadilah penumpukan udara (air trapping). Hal inilah yang menyebabkan adanya keluhan sesak napas dengan segala akibatnya. Adanya obstruksi pada awal ekspirasi akan menimbulkan kesulitan ekspirasi dan menimbulkan pemanjangan fase ekspirasi. Fungsi-fungsi paru: ventilasi, distribusi gas, difusi gas, maupun perfusi darah akan mengalami gangguan (Brannon, et al, 1993).












Pathway Penyakit paru Obstruksi Kronik

Hipertensi pulmonal

Kompensasi kardiovaskular






  1. TANDA DAN GEJALA

Tanda dan gejala akan mengarah pada dua tipe pokok:

        1. Mempunyai gambaran klinik dominant kearah bronchitis kronis (blue bloater).

        2. Mempunyai gambaran klinik kearah emfisema (pink puffers).

Tanda dan gejalanya adalah sebagai berikut:

  1. Kelemahan badan

  2. Batuk

  3. Sesak napas

  4. Sesak napas saat aktivitas dan napas berbunyi

  5. Mengi atau wheeze

  6. Ekspirasi yang memanjang

  7. Bentuk dada tong (Barrel Chest) pada penyakit lanjut.

  8. Penggunaan otot bantu pernapasan

  9. Suara napas melemah

  10. Kadang ditemukan pernapasan paradoksal

  11. Edema kaki, asites dan jari tabuh.


  1. PEMERIKSAAN PENUNJANG

Pemeriksaan penunjang yang diperlukan adalah sebagai berikut:

  1. Pemeriksaan radiologis

Pada bronchitis kronik secara radiologis ada beberapa hal yang perlu diperhatikan:

  1. Tubular shadows atau farm lines terlihat bayangan garis-garis yang parallel, keluar dari hilus menuju apeks paru. Bayangan tersebut adalah bayangan bronkus yang menebal.

  2. Corak paru yang bertambah

Pada emfisema paru terdapat 2 bentuk kelainan foto dada yaitu:

  1. Gambaran defisiensi arteri, terjadi overinflasi, pulmonary oligoemia dan bula. Keadaan ini lebih sering terdapat pada emfisema panlobular dan pink puffer.

  2. Corakan paru yang bertambah.

  1. Pemeriksaan faal paru

Pada bronchitis kronik terdapat VEP1 dan KV yang menurun, VR yang bertambah dan KTP yang normal. Pada emfisema paru terdapat penurunan VEP1, KV, dan KAEM (kecepatan arum ekspirasi maksimal) atau MEFR (maximal expiratory flow rate), kenaikan KRF dan VR, sedangkan KTP bertambah atau normal. Keadaan diatas lebih jelas pada stadium lanjut, sedang pada stadium dini perubahan hanya pada saluran napas kecil (small airways). Pada emfisema kapasitas difusi menurun karena permukaan alveoli untuk difusi berkurang.

  1. Analisis gas darah

Pada bronchitis PaCO2 naik, saturasi hemoglobin menurun, timbul sianosis, terjadi vasokonstriksi vaskuler paru dan penambahan eritropoesis. Hipoksia yang kronik merangsang pembentukan eritropoetin sehingga menimbulkan polisitemia. Pada kondisi umur 55-60 tahun polisitemia menyebabkan jantung kanan harus bekerja lebih berat dan merupakan salah satu penyebab payah jantung kanan.

  1. Pemeriksaan EKG

Kelainan yang paling dini adalah rotasi clock wise jantung. Bila sudah terdapat kor pulmonal terdapat deviasi aksis kekanan dan P pulmonal pada hantaran II, III, dan aVF. Voltase QRS rendah Di V1 rasio R/S lebih dari 1 dan V6 rasio R/S kurang dari 1. Sering terdapat RBBB inkomplet.

  1. Kultur sputum, untuk mengetahui petogen penyebab infeksi.

  2. Laboratorium darah lengkap


  1. PENATALAKSANAAN

Tujuan penatalaksanaan PPOK adalah:

  1. Memeperbaiki kemampuan penderita mengatasiu gejala tidak hanya pada fase akut, tetapi juga fase kronik.

  2. Memperbaiki kemampuan penderita dalam melaksanakan aktivitas harian.

  3. Mengurangi laju progresivitas penyakit apabila penyakitnya dapat dideteksi lebih awal.

Penatalaksanaan PPOK pada usia lanjut adalah sebagai berikut:

  1. Meniadakan faktor etiologi/presipitasi, misalnya segera menghentikan merokok, menghindari polusi udara.

  2. Membersihkan sekresi bronkus dengan pertolongan berbagai cara.

  3. Memberantas infeksi dengan antimikroba. Apabila tidak ada infeksi antimikroba tidak perlu diberikan. Pemberian antimikroba harus tepat sesuai dengan kuman penyebab infeksi yaitu sesuai hasil uji sensitivitas atau pengobatan empirik.

  4. Mengatasi bronkospasme dengan obat-obat bronkodilator. Penggunaan kortikosteroid untuk mengatasi proses inflamasi (bronkospasme) masih controversial.

  5. Pengobatan simtomatik.

  6. Penanganan terhadap komplikasi-komplikasi yang timbul.

  7. Pengobatan oksigen, bagi yang memerlukan. Oksigen harus diberikan dengan aliran lambat 1 – 2 liter/menit.

  8. Tindakan rehabilitasi yang meliputi:

    1. Fisioterapi, terutama bertujuan untuk membantu pengeluaran secret bronkus.

    2. Latihan pernapasan, untuk melatih penderita agar bisa melakukan pernapasan yang paling efektif.

    3. Latihan dengan beban oalh raga tertentu, dengan tujuan untuk memulihkan kesegaran jasmani.

    4. Vocational guidance, yaitu usaha yang dilakukan terhadap penderita dapat kembali mengerjakan pekerjaan semula.

Pathogenesis Penatalaksanaan (Medis)

  1. Pencegahan : Mencegah kebiasaan merokok, infeksi, dan polusi udara

  2. Terapi eksaserbasi akut di lakukan dengan :

  1. Antibiotik, karena eksaserbasi akut biasanya disertai infeksi
    Infeksi ini umumnya disebabkan oleh H. Influenza dan S. Pneumonia, maka digunakan ampisilin 4 x 0.25-0.56/hari atau eritromisin 4x0.56/hari Augmentin (amoksilin dan asam klavulanat) dapat diberikan jika kuman penyebab infeksinya adalah H. Influenza dan B. Cacarhalis yang memproduksi B. Laktamase Pemberiam antibiotik seperti kotrimaksasol, amoksisilin, atau doksisiklin pada pasien yang mengalami eksaserbasi akut terbukti mempercepat penyembuhan dan membantu mempercepat kenaikan peak flow rate. Namun hanya dalam 7-10 hari selama periode eksaserbasi. Bila terdapat infeksi sekunder atau tanda-tanda pneumonia, maka dianjurkan antibiotik yang kuat.

  2. Terapi oksigen diberikan jika terdapata kegagalan pernapasan karena hiperkapnia dan berkurangnya sensitivitas terhadap CO2

  3. Fisioterapi membantu pasien untuk mengelurakan sputum dengan baik.

  4. Bronkodilator, untuk mengatasi obstruksi jalan napas, termasuk di dalamnya golongan adrenergik b dan anti kolinergik. Pada pasien dapat diberikan salbutamol 5 mg dan atau ipratopium bromida 250 mg diberikan tiap 6 jam dengan nebulizer atau aminofilin 0,25 - 0,56 IV secara perlahan.

  1. Terapi jangka panjang di lakukan :

  1. Antibiotik untuk kemoterapi preventif jangka panjang, ampisilin 4x0,25-0,5/hari dapat menurunkan kejadian eksaserbasi akut.
    b. Bronkodilator, tergantung tingkat reversibilitas obstruksi saluran napas tiap pasien maka sebelum pemberian obat ini dibutuhkan pemeriksaan obyektif dari f
    ungsi faal paru.
    c. Fisioterapi

  2. Latihan fisik untuk meningkatkan toleransi aktivitas fisik

  3. Mukolitik dan ekspektoran

  4. Terapi oksigen jangka panjang bagi pasien yang mengalami gagal napas tipe II dengan PaO2 (7,3 Pa (55 MMHg)

  5. Rehabilitasi, pasien cenderung menemui kesulitan bekerja, merasa sendiri dan terisolasi, untuk itu perlu kegiatan sosialisasi agar terhindar dari depresi.

Rehabilitasi untuk pasien PPOK adalah :

    • Ø Fisioterapi

    • Ø Rehabilitasi psikis

    • Ø Rehabilitasi pekerjaan (Mansjoer 2001 : 481-482)]


  1. KOMPLIKASI COPD

  1. Hipoxemia

Hipoxemia didefinisikan sebagai penurunan nilai PaO2 kurang dari 55 mmHg, dengan nilai saturasi Oksigen <85%. Pada awalnya klien akan mengalami perubahan mood, penurunan konsentrasi dan pelupa. Pada tahap lanjut timbul cyanosis.

  1. Asidosis Respiratory

Timbul akibat dari peningkatan nilai PaCO2 (hiperkapnia). Tanda yang muncul antara lain : nyeri kepala, fatique, lethargi, dizzines, tachipnea.



  1. Infeksi Respiratory

Infeksi pernafasan akut disebabkan karena peningkatan produksi mukus, peningkatan rangsangan otot polos bronchial dan edema mukosa. Terbatasnya aliran udara akan meningkatkan kerja nafas dan timbulnya dyspnea.

  1. Gagal jantung

Terutama kor-pulmonal (gagal jantung kanan akibat penyakit paru), harus diobservasi terutama pada klien dengan dyspnea berat. Komplikasi ini sering kali berhubungan dengan bronchitis kronis, tetapi klien dengan emfisema berat juga dapat mengalami masalah ini.

  1. Cardiac Disritmia

Timbul akibat dari hipoxemia, penyakit jantung lain, efek obat atau asidosis respiratory.

  1. Status Asmatikus

Merupakan komplikasi mayor yang berhubungan dengan asthma bronchial. Penyakit ini sangat berat, potensial mengancam kehidupan dan seringkali tidak berespon terhadap therapi yang biasa diberikan. Penggunaan otot bantu pernafasan dan distensi vena leher seringkali terlihat.



















BAB III

ASUHAN KEPERAWATAN PASIEN PPOK


Dari seluruh dampak di atas, maka diperlukan suatu asuhan keperawatan yang komprehensif baik bio, psiko, sosial dan melalui proses perawatan yaitu mulai dari pengkajian sampai evaluasi.

  1. Pengkajian

Pengkajian mencakup informasi tentang gejala-gejala terakhir dan manifestasi penyakit sebelumnya. Berikut ini beberapa pedoman pertanyaan untuk mendapatkan data riwayat kesehatan dari proses penyakit:

  1. Sudah berapa lama pasien mengalami kesulitan pernapasan?

  2. Apakah aktivitas meningkatkan dispnea?

  3. Berapa jauh batasan pasien terhadap toleransi aktivitas?

  4. Kapan pasien mengeluh paling letih dan sesak napas?

  5. Apakah kebiasaan makan dan tidur terpengaruh?

  6. Riwayat merokok?

  7. Obat yang dipakai setiap hari?

  8. Obat yang dipakai pada serangan akut?

  9. Apa yang diketahui pasien tentang kondisi dan penyakitnya?

Data tambahan yang dikumpulkan melalui observasi dan pemeriksaan sebagai berikut:

  1. Frekuensi nadi dan pernapasan pasien?

  2. Apakah pernapasan sama tanpa upaya?

  3. Apakah ada kontraksi otot-otot abdomen selama inspirasi?

  4. Apakah ada penggunaan otot-otot aksesori pernapasan selama pernapasan?

  5. Barrel chest?

  6. Apakah tampak sianosis?

  7. Apakah ada batuk?

  8. Apakah ada edema perifer?

  9. Apakah vena leher tampak membesar?

  10. Apa warna, jumlah dan konsistensi sputum pasien?

  11. Bagaimana status sensorium pasien?

  12. Apakah terdapat peningkatan stupor? Kegelisahan?



  1. Hasil pemeriksaan diagnosis seperti :

  1. Chest X-Ray :

dapat menunjukkan hiperinflation paru, flattened diafragma, peningkatan ruang udara retrosternal, penurunan tanda vaskular/bulla (emfisema), peningkatan bentuk bronchovaskular (bronchitis), normal ditemukan saat periode remisi (asthma)

  1. Pemeriksaan Fungsi Paru :

dilakukan untuk menentukan penyebab dari dyspnea, menentukan abnormalitas fungsi tersebut apakah akibat obstruksi atau restriksi, memperkirakan tingkat disfungsi dan untuk mengevaluasi efek dari terapi, misal : bronchodilator.

  1. TLC :

meningkat pada bronchitis berat dan biasanya pada asthma, menurun pada emfisema.

  1. Kapasitas Inspirasi :

menurun pada emfisema

  1. FEV1/FVC :

ratio tekanan volume ekspirasi (FEV) terhadap tekanan kapasitas vital (FVC) menurun pada bronchitis dan asthma.

  1. ABGs :

menunjukkan proses penyakit kronis, seringkali PaO2 menurun dan PaCO2 normal atau meningkat (bronchitis kronis dan emfisema) tetapi seringkali menurun pada asthma, pH normal atau asidosis, alkalosis respiratori ringan sekunder terhadap hiperventilasi (emfisema sedang atau asthma).

  1. Bronchogram :

dapat menunjukkan dilatasi dari bronchi saat inspirasi, kollaps bronchial pada tekanan ekspirasi (emfisema), pembesaran kelenjar mukus (bronchitis)

  1. Darah Komplit :

peningkatan hemoglobin (emfisema berat), peningkatan eosinofil (asthma).

  1. Kimia Darah :

alpha 1-antitrypsin dilakukan untuk kemungkinan kurang pada emfisema primer.

  1. Sputum Kultur :

untuk menentukan adanya infeksi, mengidentifikasi patogen,
pemeriksaan sitologi untuk menentukan penyakit keganasan atau allergi.

  1. ECG :

deviasi aksis kanan, gelombang P tinggi (asthma berat), atrial disritmia (bronchitis), gel. P pada Leads II, III, AVF panjang, tinggi (bronchitis, emfisema), axis QRS vertikal (emfisema)

  1. Exercise ECG, Stress Test :

menolong mengkaji tingkat disfungsi pernafasan, mengevaluasi keefektifan obat bronchodilator, merencanakan/evaluasi program.

Palpasi:

  1. Palpasi pengurangan pengembangan dada?

  2. Adakah fremitus taktil menurun?

Perkusi:

  1. Adakah hiperesonansi pada perkusi?

  2. Diafragma bergerak hanya sedikit?

Auskultasi:

  1. Adakah suara wheezing yang nyaring?

  2. Adakah suara ronkhi?

  3. Vokal fremitus nomal atau menurun?


  1. Diagnosa Keperawatan

Diagnosa keperawatan utama pasien mencakup berikut ini:

  1. Bersihan jalan napas tidak efektif berhubungan dengan bronkokontriksi, peningkatan produksi sputum, batuk tidak efektif, kelelahan/berkurangnya tenaga dan infeksi bronkopulmonal.

  2. Pola napas tidak efektif berhubungan dengan napas pendek, mucus, bronkokontriksi dan iritan jalan napas.

  3. Gangguan pertukaran gas berhubungan dengan ketidaksamaan ventilasi perfusi

  4. Intoleransi aktivitas berhubungan dengan ketidakseimbangan antara suplai dengan kebutuhan oksigen.

  5. Risiko perubahan nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh berhubungan dengan anoreksia.

  6. Ganggua pola tidur berhubungan dengan ketidaknyamanan, pengaturan posisi.

  7. Kurang perawatan diri berhubungan dengan keletihan sekunder akibat peningkatan upaya pernapasan dan insufisiensi ventilasi dan oksigenasi.

  8. Ansietas berhubungan dengan ancaman terhadap konsep diri, ancaman terhadap kematian, keperluan yang tidak terpenuhi.

  9. Koping individu tidak efektif berhubungan dengan kurang sosialisasi, ansietas, depresi, tingkat aktivitas rendah dan ketidakmampuan untuk bekerja.

  10. Kurang pengetahuan berhubungan dengan kurangnya informasi, tidak mengetahui sumber informasi.

Masalah kolaboratif/Potensial komplikasi yang dapat terjadi termasuk:

  1. Gagal/insufisiensi pernapasan

  2. Hipoksemia

  3. Atelektasis

  4. Pneumonia

  5. Pneumotoraks

  6. Hipertensi paru

  7. Gagal jantung kanan


  1. Intervensi Keperawatan

  1. Bersihan jalan napas tidak efektif berhubungan dengan bronkokontriksi, peningkatan produksi sputum, batuk tidak efektif, kelelahan/berkurangnya tenaga dan infeksi bronkopulmonal.

Tujuan:

Pencapaian bersihan jalan napas klien

Intervensi keperawatan:

    1. Beri pasien 6 sampai 8 gelas cairan/hari kecuali terdapat kor pulmonal.

    2. Ajarkan dan berikan dorongan penggunaan teknik pernapasan diafragmatik dan batuk.

    3. Bantu dalam pemberian tindakan nebuliser, inhaler dosis terukur, atau IPPB

    4. Lakukan drainage postural dengan perkusi dan vibrasi pada pagi hari dan malam hari sesuai yang diharuskan.

    5. Instruksikan pasien untuk menghindari iritan seperti asap rokok, aerosol, suhu yang ekstrim, dan asap.

    6. Ajarkan tentang tanda-tanda dini infeksi yang harus dilaporkan pada dokter dengan segera: peningkatan sputum, perubahan warna sputum, kekentalan sputum, peningkatan napas pendek, rasa sesak didada, keletihan.

    7. Beriakn antibiotik sesuai yang diharuskan.

    8. Berikan dorongan pada pasien untuk melakukan imunisasi terhadap influenzae dan streptococcus pneumoniae.

  1. Pola napas tidak efektif berhubungan dengan napas pendek, mukus, bronkokontriksi dan iritan jalan napas.

Tujuan:

Perbaikan pola pernapasan klien

Intervensi:

    1. Ajarkan klien latihan bernapas diafragmatik dan pernapasan bibir dirapatkan.

    2. Berikan dorongan untuk menyelingi aktivitas dengan periode istirahat. Biarkan pasien membuat keputusan tentang perawatannya berdasarkan tingkat toleransi pasien.

    3. Berikan dorongan penggunaan latihan otot-otot pernapasan jika diharuskan.

  1. Gangguan pertukaran gas berhubungan dengan ketidaksamaan ventilasi perfusi

Tujuan:

Perbaikan dalam pertukaran gas

Intervensi keperawatan:

  1. Deteksi bronkospasme saat auskultasi .

  2. Pantau klien terhadap dispnea dan hipoksia.

  3. Beriakn obat-obatan bronkodialtor dan kortikosteroid dengan tepat dan waspada kemungkinan efek sampingnya.

  4. Berikan terapi aerosol sebelum waktu makan, untuk membantu mengencerkan sekresi sehingga ventilasi paru mengalami perbaikan.

  5. Pantau pemberian oksigen.

  1. Intoleransi aktivitas berhubungan dengan ketidakseimbangan antara suplai dengan kebutuhan oksigen.

Tujuan:

Memperlihatkan kemajuan pada tingkat yang lebih tinggi dari aktivitas yang mungkin.

Intervensi keperawatan:

    1. Kaji respon individu terhadap aktivitas; nadi, tekanan darah, pernapasan.

    2. Ukur tanda-tanda vital segera setelah aktivitas, istirahatkan klien selama 3 menit kemudian ukur lagi tanda-tanda vital.

    3. Dukung pasien dalam menegakkan latihan teratur dengan menggunakan treadmill dan exercycle, berjalan atau latihan lainnya yang sesuai, seperti berjalan perlahan.

    4. Kaji tingkat fungsi pasien yang terakhir dan kembangkan rencana latihan berdasarkan pada status fungsi dasar.

    5. Sarankan konsultasi dengan ahli terapi fisik untuk menentukan program latihan spesifik terhadap kemampuan pasien.

    6. Sediakan oksigen sebagaiman diperlukan sebelum dan selama menjalankan aktivitas untuk berjaga-jaga.

    7. Tingkatkan aktivitas secara bertahap; klien yang sedang atau tirah baring lama mulai melakukan rentang gerak sedikitnya 2 kali sehari.

    8. Tingkatkan toleransi terhadap aktivitas dengan mendorong klien melakukan aktivitas lebih lambat, atau waktu yang lebih singkat, dengan istirahat yang lebih banyak atau dengan banyak bantuan.

    9. Secara bertahap tingkatkan toleransi latihan dengan meningkatkan waktu diluar tempat tidur sampai 15 menit tiap hari sebanyak 3 kali sehari.

  1. Risiko perubahan nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh berhubungan dengan dispnea, kelamahan, efek samping obat, produksi sputum dan anoreksia, mual muntah.

Tujuan:

Kebutuhan nutrisi klien terpenuhi.

Intervensi keperawatan:

    1. Kaji kebiasaan diet, masukan makanan saat ini. Catat derajat kesulitan makan. Evaluasi berat badan dan ukuran tubuh.

    2. Auskultasi bunyi usus

    3. Berikan perawatan oral sering, buang sekret.

    4. Dorong periode istirahat I jam sebelum dan sesudah makan.

    5. Pesankan diet lunak, porsi kecil sering, tidak perlu dikunyah lama.

    6. Hindari makanan yang diperkirakan dapat menghasilkan gas.

    7. Timbang berat badan tiap hari sesuai indikasi.

  1. Gangguan pola tidur berhubungan dengan ketidaknyamanan, pengaturan posisi.

Tujuan:

Kebutuhan tidur terpenuhi

Intervensi keperawatan:

    1. Bantu klien latihan relaksasi ditempat tidur.

    2. Lakukan pengusapan punggung saat hendak tidur dan anjurkan keluarga untuk melakukan tindakan tersebut.

    3. Atur posisi yang nyaman menjelang tidur, biasanya posisi high fowler.

    4. Lakukan penjadwalan waktu tidur yang sesuai dengan kebiasaan pasien.

    5. Berikan makanan ringan menjelang tidur jika klien bersedia.

  1. Kurang perawatan diri berhubungan dengan keletihan sekunder akibat peningkatan upaya pernapasan dan insufisiensi ventilasi dan oksigenasi.

Tujuan:

Kemandirian dalam aktivitas perawatan diri

Intervensi:

    1. Ajarkan mengkoordinasikan pernapasan diafragmatik dengan aktivitas seperti berjalan, mandi, membungkuk, atau menaiki tangga.

    2. Dorong klien untuk mandi, berpakaian, dan berjalan dalam jarak dekat, istirahat sesuai kebutuhan untuk menghindari keletihan dan dispnea berlebihan. Bahas tindakan penghematan energi.

    3. Ajarkan tentang postural drainage bila memungkinkan.

  1. Ansietas berhubungan dengan ancaman terhadap konsep diri, ancaman terhadap kematian, keperluan yang tidak terpenuhi.

Tujuan:

Klien tidak terjadi kecemasan

Intervensi keperawatan:

    1. Bantu klien untuk menceritakan kecemasan dan ketakutannya pada perawat.

    2. Jangan tinggalkan pasien sendirian selama mengalami sesak.

    3. Jelaskan kepada keluarga pentingnya mendampingi klien saat mengalami sesak.



  1. Koping individu tidak efektif berhubungan dengan kurang sosialisasi, ansietas, depresi, tingkat aktivitas rendah dan ketidakmampuan untuk bekerja.

Tujuan:

Pencapaian tingkat koping yang optimal.

Intervensi keperawatan:

    1. Mengadopsi sikap yang penuh harapan dan memberikan semangat yang ditujukan pada pasien.

    2. Dorong aktivitas sampai tingkat toleransi gejala

    3. Ajarkan teknik relaksasi atau berikan rekaman untuk relaksasi bagi pasien.

    4. Daftarkan pasien pada program rehabilitasi pulmonari bila tersedia.

    5. Tingkatkan harga diri klien.

    6. Rencanakan terapi kelompok untuk menghilangkan kekesalan yang sangat menumpuk.

  1. Kurang pengetahuan berhubungan dengan kurangnya informasi, tidak mengetahui sumber informasi.

Tujuan:

Klien meningkat pengetahuannya.

Intervensi keperawatan:

    1. Bantu pasien mengerti tentang tujuan jangka panjang dan jangka pendek; ajarkan pasien tentang penyakit dan perawatannya.

    2. Diskusikan keperluan untuk berhenti merokok. Berikan informasi tentang sumber-sumber kelompok.













DAFTAR PUSTAKA


      1. Grainger, Allison : Diagnostic Raddiology An Anglo American Textbook of Imaging, second edition, Churchil Livingstone, page :122.

      2. Horrison : Principle of Internal Medicine, 15th edition, McGraw-Hill, page : 1491-1493.

      3. G.Simon : Diagnostik Rontgen, cetakan ke-2, Erlangga, 1981, hal :310-312.

      4. Meschan : Analysis of Rontgen Signs in General Radiology, Volume II, page : 954,990-993.

      5. Danu Santoso Halim,Dr.SpP : Ilmu Penyakit Paru, Jakarta 1998, hal :169-192.

      6. Gofton, Douglas : Respiratory Disease, 3rd edition, PG Publishing Pte Ltd, 1984, page : 346-379.

      7. Harrison : Prinsip Prinsip Ilmu Penyakit Dalam, edisi 13, volume ketiga, Jakarta

      8. 20003, hal :1347-1353.

      9. Lothar, Wicke, Atlas Radiologi, edisi 3, Penerbit Buku Kedokteran 1985, page: 157.

      10. Kapita Selekta Kedokteran, edisi ketiga, Media Aesculapius 1999, Jakarta, hal : 480-482.

      11. Smeltzer, Suzanne C. (2001) Buku Ajar Keperawatan Medikal Bedah Brunner & Suddarth, alih bahasa: Agung Waluyo (et. al.), vol. 1, edisi 8, Jakarta: EGC

      12. Long Barbara C. (1996) Perawatan medical Bedah Suatu pendekatan Proses keperawatan, alih bahasa: Yayasan Ikatan Alumni Pendidikan Keperawatan Padjajaran Bandung, Bandung.

      13. Darmojo; Martono (1999) Buku Ajar Geriatri (Ilmu Kesehatan Usia Lanjut), Jakarta: Balai penerbit FKUI

      14. Price Sylvia Anderson (1997) Patofisiologi Konsep Klinis Proses-Proses Penyakit, alih bahasa: Peter Anugerah, Buku Kedua, edisi 4, Jakarta: EGC

      15. Perhimpunan Dokter Spesialis Penyakit Dalam Indonesia (2001) Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam Jilid II, edisi ketiga, Jakarta: balai Penerbit FKUI

      16. Nugroho, Wahjudi (2000) Keperawatan Gerontik, edisi 2, Jakarta: EGC

      17. Doenges, Marilynn E. (1999) Rencana Asuhan Keperawatan: Pedoman untuk Perencanaan dan Pendokumentasian Pasien, alih bahasa: I Made Kariasa, Ni Made Sumarwati, edisi 3, Jakarta: EGC

      18. Carpenito, Lynda Juall (1997) Buku Saku Diagnosa Keperawatan, alih bahasa: Yasmin Asih, edisi 6, Jakarta: EGC

Senin, 18 Mei 2009

DINAMIKA KELOMPOK

I. PENGERTIAN DINAMIKA KELOMPOK

Beberapa teori tentang definisi kelompok adalah berbeda-bada yaitu Kelompok adalah kumpulan individu yang memiliki hubungan satu dengan yang lain, saling bergantung dan mempunyai norma yang sama (struart & laraia, 2001).

Dalam teori lain arti kelompok adalah Kumpulan beberapa individu yang keberadaanya memberikan kepuasan/imbalan kepada individu tersebut (Bass, 1960)

Kelompok juga berarti Sekumpulan individu dengan keadaan/ciri yang sama, interdependen (Fiedler, 1967)

Adanya interaksi antar individu, terbentuk persepsi yang sama, terbentuk ikatan afektif, dan terbentuknya interdependensi peran (Delamater, 1974)

Unit yang terdiri dari dua orang atau lebih, yang saling berhubungan untuk suatu kegunaan dan menilai hubungan bermanfaat (Mills, 1967).

Kelompok merupakan himpunan/kesatuan manusia yang hidup bersama, ada hub timbal balik yang saling mempengaruhi dan saling tolong menolong. (soerjono soekanto, 1982)

Anggota kelompok mungkin datang dari berbagai latar belakang yang harus ditangani sesuai dengan keadaannya, seperti agresif, takut, kebencian, kompetitif, kesamaan, ketidaksamaan, kesukaan, dan menarik (yalom, 1995 dalam stuart & laraia, 2001). Semua kondisi ini akan mempengaruhi dinamika kelompok, ketika anggota kelompok memberi dan menerima umpan balik yang berarti dalam berbagai interaksi yang terjadi dalam kelompok.

Dinamika kelompok berasal dari kata dinamika yang memiliki arti tingkah laku warga yang dapat mempengaruhi tingkah laku warga lainnya sehingga terjadi hubungan timbale balik. Secara jelas dinamika berarti interaksi atau interdependensi antara kelompok yang satu dengan yang lainnya. Jadi dinamika kelompok merupakan suatu kelompok yang terdiri dari dua atau lebih individu yang memiliki hubungan psikologis secara jelas antara anggota satu dengan yang lain yang dapat berlangsung dalam situasi yang dialami secara bersamaan.


II. FUNGSI DINAMIKA KELOMPOK

Kelompok berfungsi sebagai tempat berbagi pengalaman dan saling membantu satu sama lain, untuk menemukan cara menyelesaikan masalah. Kelompok merupakan laboratorium tempat mencoba dan menemukan hubungan interpersonal yang baik, serta mengmbangkan perilaku yang adaptif. Anggota kelompok merasa dimiliki, diakui, dan dihargai eksistensinya oleh anggota kelompok yang lain.

Dinamika kelompok merupakan kebutuhan bagi setiap individu yang hidup dalam satu kelompok yang saling berinteraksi membutuhkan satu dengan lainnya. Berdasarkan hal tersebut, maka diperlukan dinamika kelompok karena dinamika kelompok dapat berfungsi sebagai berikut :

  1. Antara individu satu dengan yang lain akan terjadi kerjasama saling membutuhkan, mengingat setiap individu tidak mungkin dapat hidup secara sendiri didalam masyarakat atau dimana ia bertempat tinggal, karena mereka akan saling membutuhkan dalam mengatasi persoalan hidup.

  2. Melalui dinamika kelompok individu akan lebih memudahkan segala pekerjaan karena pekerjaanyang dilakukannya tidak dapat dilaksanakan tanpa bantuan seseorang, sehingga dengan berdinamika kelompok orang akan mengetahui kelemahan dalam bekerja.

  3. Dengan dinamika kelompok segala pekerjaan yang membutuhkan pemecahan masalah dapat teratasi, dan mengurangi beban pekerjaan yang terlalu besar sehingga waktu untuk menyelesaikan pekerjaan dapat diatur secara tepat, efektif dan efisien, karena melalui dinamika kelompok pekerjaan besar akan akan dibagi-bagi sesuai dengan bagian kelompoknya masing-masing.

  4. Akan lebih meningkatkan masyarakat yang demokratis karena individu satu dengan yang lain dapat memberikan masukan atau berinteraksi dengan lainnya dan memiliki peran yang sama dalam masyarakat.

Fungsi lain dari dinamika kelompok adalah sebagai berikut :

  • Melindungi anggota dari bahaya

  • Menyelesaikan masalah anggota

  • Menyediakan sumber yg tepat

  • Menyelesaikan tugas

  • Menyusun standar untuk anggota

  • Merubah opini di luar kelompok

  • Memberi nasihat pd. Anggota

  • Ketrampilan dan info

  • Pengorganisasian

Disamping fungsi-fungsi diatas kelompok berdasarkan tipe dapat berfungsi sebagai berikut :

    1. Task Related/instrumental

v tekanan atau perhatian pada pekerjaan

v tugas terselesaikan/tuntas

    1. Interpersonal

v membina moral dan perasaan




















DAFTAR PUSTAKA


A.Aziz Alimul Hidayat. (2007) Pengantar Konsep Dasar Keperawtan edisi kedua, Salemba Medika Jakarta.

Dr. Budi Anna Keliat, S.Kp,M.App.Sc. (2005), Keperawatan Jiwa Terapi Aktivitas Kelompok. EGC, Jakarta

Kozier, Fundamental of Nursing. (1991) Concept, Process, and Practice,Addison Wesley,Publishing company,Inc

Iwan Purnawan S.Kep.,Ns. (2008). Dinamika kelompok, Jurnal Keperawatan

______La Monica L. Elaine. Alih Bahasa Nurachmah. Elly. (1998). Kepemimpinan dan Manajemen Keperawatan, Pendekatan Berdasarkan Pengalaman. EGC. Jakarta

______Swanburg. C. Russell. Alih Bahasa Samba.Suharyati. (2000). Pengantar kepemimpinan dan Manajemen Keperawatan, Untuk Perawat Klinis. EGC. Jakarta


ASUHAN KEPERAWATAN DHF

A. KONSEP DASAR

  1. Pengertian

Dengue haemorhagic fever (DHF) adalah penyakit yang disebabkan oleh virus dengue sejenis virus yang tergolong arbovirus dan masuk kedalam tubuh penderita melalui gigitan nyamuk aedes aegypty (Christantie Efendy,1995 ).

Dengue haemorhagic fever (DHF) adalah penyakit yang terdapat pada anak dan orang dewasa dengan gejala utama demam, nyeri otot dan nyeri sendi yang disertai ruam atau tanpa ruam. DHF sejenis virus yang tergolong arbo virus dan masuk kedalam tubuh penderita melalui gigitan nyamuk aedes aegypty (betina) (Seoparman , 1990).

DHF adalah demam khusus yang dibawa oleh aedes aegypty dan beberapa nyamuk lain yang menyebabkan terjadinya demam. Biasanya dengan cepat menyebar secara efidemik. (Sir,Patrick manson,2001).

Dengue haemorhagic fever (DHF) adalah suatu penyakit akut yang disebabkan oleh virus yang ditularkan oleh nyamuk aedes aegypty (Seoparman, 1996).

Demam Berdarah Dengue (DBD) atau Dengue Haemorrhagic Fever (DHF) adalah suatu penyakit yang disebabkan oleh virus Dengue Family Flaviviridae, dengan genusnya adalah Flavivirus. Virus mempunyai empat serotipe yang dikenal dengan DEN-1, DEN-2, DEN-3, dan DEN-4. Selama ini secara klinik mempunyai tingkatan manifestasi yang berbeda tergantung dari serotipe virus dengue. Morbiditas penyakit DBD menyebar di negara-negara tropis dan sub tropis. Disetiap negara penyakit DBD mempunyai manifestasi klinik yang berbeda. (http://fkuii.org)

  1. Etiologi

    1. Virus dengue sejenis arbovirus.

    2. Virus dengue tergolong dalam family Flavividae dan dikenal ada 4 serotif, Dengue 1 dan 2 ditemukan di Irian ketika berlangsungnya perang dunia ke II, sedangkan dengue 3 dan 4 ditemukan pada saat wabah di Filipina tahun 1953-1954. Virus dengue berbentuk batang, bersifat termoragil, sensitif terhadap in aktivitas oleh diatiter dan natrium diaksikolat, stabil pada suhu 70 oC.

Keempat serotif tersebut telah di temukan pula di Indonesia dengan serotif ke 3 merupakan serotif yang paling banyak.

  1. Patofisiologi

Patogenesis dan Patofisiologi, patogenesis DBD tidak sepenuhnya dipahami namun terdapat 2 perubahan patofisiologi yang menyolok, yaitu meningkatnya permeabilitas kapiler yang mengakibatkan bocornya plasma, hipovolemia dan terjadinya syok. Pada DBD terdapat kejadian unik yaitu terjadinya kebocoran plasma kedalam rongga pleura dan rongga peritoneal. Kebocoran plasma terjadi singkat (24-28 jam).

Hemostatis abnormal yang disebabkan oleh vaskulopati, trombositopeni dan koagulopati, mendahului terjadinya manifestasi perdarahan. Aktivasi sistem komplemen selalu dijumpai pada pasien DBD kadar C3 dan C5 rendah, sedangkan C3a dan C5a meningkat. Mekanisme aktivasi komplemen tersebut belum diketahui. Adanya kompleks imun telah dilaporkan pada DBD. Namun demikian peran kompleks antigen-antibodi sebagai penyebab aktivasi komplemen pada DBD belum terbukti.

Selama ini diduga bahwa derajat keparahan penyakit DBD dibandingkan dengan DD dijelaskan adanya pemacuan dari multiplikasi virus di dalam makrofag oleh antibodi heterotipik sebagai akibat infesi dengue sebelumnya. Namun demikian terdapat bukti bahwa faktor virus serta responsimun cell-mediated terlibat juga dalam patogenesis DBD.

  1. Tanda Dan Gejala

  1. Demam tinggi selama 5 - 7 hari

  2. Mual, muntah, tidak ada nafsu makan, diare, konstipasi.

  3. Perdarahan terutama perdarahan bawah kulit, ptechie, echymosis, hematoma.

  4. Epistaksis, hematemisis, melena, hematuri.

  5. Nyeri otot, tulang sendi, abdoment, dan ulu hati.

  6. Sakit kepala.

  7. Pembengkakan sekitar mata.

  8. Pembesaran hati, limpa, dan kelenjar getah bening.

  9. Tanda-tanda renjatan (sianosis, kulit lembab dan dingin, tekanan darah menurun, gelisah, capillary refill lebih dari dua detik, nadi cepat dan lemah).

  1. Komplikasi

Adapun komplikasi dari penyakit demam berdarah diantaranya :

a. Perdarahan luas.

b. Shock atau renjatan.

c. Effuse pleura

d. Penurunan kesadaran.

  1. Klasifikasi

  1. Derajat I :

Demam disertai gejala klinis lain atau perdarahan spontan, uji turniket positi, trombositopeni dan hemokonsentrasi.

  1. Derajat II :

Manifestasi klinik pada derajat I dengan manifestasi perdarahan spontan di bawah kulit seperti peteki, hematoma dan perdarahan dari lain tempat.

  1. Derajat III :

Manifestasi klinik pada derajat II ditambah dengan ditemukan manifestasi kegagalan system sirkulasi berupa nadi yang cepat dan lemah, hipotensi dengan kulit yang lembab, dingin dan penderita gelisah.

  1. Derajat IV :

Manifestasi klinik pada penderita derajat III ditambah dengan ditemukan manifestasi renjatan yang berat dengan ditandai tensi tak terukur dan nadi tak teraba.

  1. Pemeriksaan penunjang

  1. Darah

  1. Trombosit menurun.

  2. HB meningkat lebih 20 %

  3. HT meningkat lebih 20 %

  4. Leukosit menurun pada hari ke 2 dan ke 3

  5. Protein darah rendah

  6. Ureum PH bisa meningkat

  7. NA dan CL rendah

  1. Serology : HI (hemaglutination inhibition test).

    1. Rontgen thorax : Efusi pleura.

    2. Uji test tourniket (+)



  1. Penatalaksanaan

  1. Tirah baring

  2. Pemberian makanan lunak .

  3. Pemberian cairan melalui infus.

Pemberian cairan intra vena (biasanya ringer lactat, nacl) ringer lactate merupakan cairan intra vena yang paling sering digunakan , mengandung Na + 130 mEq/liter , K+ 4 mEq/liter, korekter basa 28 mEq/liter , Cl 109 mEq/liter dan Ca = 3 mEq/liter.

  1. Pemberian obat-obatan : antibiotic, antipiretik,

  2. Anti konvulsi jika terjadi kejang

  3. Monitor tanda-tanda vital ( T,S,N,RR).

  4. Monitor adanya tanda-tanda renjatan

  5. Monitor tanda-tanda perdarahan lebih lanjut

  6. Periksa HB,HT, dan Trombosit setiap hari.

  1. Tumbuh kembang pada anak usia 6-12 tahun

Pertumbuhan merupakan proses bertambahnya ukuran berbagai organ fisik berkaitan dengan masalah perubahan dalam jumlah, besar, ukuran atau dimensi tingkat sel. Pertambahan berat badan 2 - 4 Kg / tahun dan pada anak wanita sudah mulai mengembangkan cirri sex sekundernya.

Perkembangan menitik beratkan pada aspek diferensiasi bentuk dan fungsi termasuk perubahan sosial dan emosi.

  1. Motorik kasar

  1. Loncat tali

  2. Badminton

  3. Memukul

  4. Motorik kasar di bawah kendali kognitif dan berdasarkan secara bertahap meningkatkan irama dan kehalusan.

  1. Motorik halus

  1. Menunjukan keseimbangan dan koordinasi mata dan tangan

  2. Dapat meningkatkan kemampuan menjahit, membuat model dan bermain alat musik.

  1. Kognitif

  1. Dapat berfokus pada lebih dan satu aspek dan situasi

  2. Dapat mempertimbangkan sejumlah alternatif dalam pemecahan masalah

  3. Dapat membelikan cara kerja dan melacak urutan kejadian kembali sejak awal

  4. Dapat memahami konsep dahulu, sekarang dan yang akan datang

  1. Bahasa

  1. Mengerti kebanyakan kata-kata abstrak

  2. Memakai semua bagian pembicaraan termasuk kata sifat, kata keterangan, kata penghubung dan kata depan

  3. Menggunakan bahasa sebagai alat pertukaran verbal

  4. Dapat memakai kalimat majemuk dan gabungan

  1. Dampak Hospitalisasi

Hospitalisasi atau sakit dan dirawat di RS bagi anak dan keluarga akan menimbulkan stress dan tidak merasa aman. Jumlah dan efek stress tergantung pada persepsi anak dan keluarga terhadap kerusakan penyakit dan pengobatan.

Penyebab anak stress meliputi ;

  1. Psikososial

Berpisah dengan orang tua, anggota keluarga lain, teman dan perubahan peran

  1. Fisiologis

Kurang tidur, perasaan nyeri, imobilisasi dan tidak mengontrol diri

  1. Lingkungan asing

Kebiasaan sehari-hari berubah

  1. Pemberian obat kimia

Reaksi anak saat dirawat di Rumah sakit usia sekolah (6-12 tahun)

  1. Merasa khawatir akan perpisahan dengan sekolah dan teman sebayanya

  2. Dapat mengekspresikan perasaan dan mampu bertoleransi terhadap rasa nyeri

  3. Selalu ingin tahu alasan tindakan

  4. Berusaha independen dan produktif.

Reaksi orang tua

  1. Kecemasan dan ketakutan akibat dari seriusnya penyakit, prosedur, pengobatan dan dampaknya terhadap masa depan anak

  2. Frustasi karena kurang informasi terhadap prosedur dan pengobatan serta tidak familiernya peraturan Rumah sakit.




B. ASUHAN KEPERAWATAN SECARA TEORITIS

  1. Pengkajian

Pengkajian merupakan tahap awal yang dilakukan perawat untuk mendapatkan data yang dibutuhkan sebelum melakukan asuhan keperawatan . pengkajian pada pasien dengan “DHF” dapat dilakukan dengan teknik wawancara, pengukuran, dan pemeriksaan fisik. Adapun tahapan-tahapannya meliputi :

  1. Mengkaji data dasar, kebutuhan bio-psiko-sosial-spiritual pasien dari berbagai sumber (pasien, keluarga, rekam medik dan anggota tim kesehatan lainnya).

  2. Mengidentifikasi sumber-sumber yang potensial dan tersedia untuk memenuhi kebutuhan pasien.

  3. Kaji riwayat keperawatan.

  4. Kaji adanya peningkatan suhu tubuh ,tanda-tanda perdarahan, mual, muntah, tidak nafsu makan, nyeri ulu hati, nyeri otot dan sendi, tanda-tanda syok (denyut nadi cepat dan lemah, hipotensi, kulit dingin dan lembab terutama pada ekstrimitas, sianosis, gelisah, penurunan kesadaran).

  1. Diagnosa keperawatan.

Penyusunan diagnosa keperawatan dilakukan setelah data didapatkan, kemudian dikelompokkan dan difokuskan sesuai dengan masalah yang timbul sebagai contoh diagnosa keperawatan yang mungkin muncul pada kasus DHF diantaranya:

  1. Kekurangan volume cairan berhubungan dengan peningkatan permeabilitas kapiler, perdarahan, muntah dan demam.

  2. Hipertermi berhubungan dengan proses infeksi virus dengue.

  3. Perubahan nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh berhubungan dengan mual, muntah, tidak ada nafsu makan.

  4. Kurang pengetahuan keluarga tentang proses penyakit berhubungan dengan kurangnya informasi

  5. Resiko terjadinya perdarahan berhubungan dengan trombositopenia.

  6. Shock hipovolemik berhubungan dengan perdarahan

  1. Intervensi

Perumusan rencana perawatan pada kasus DHF hendaknya mengacu pada masalah diagnosa keperawatan yang dibuat. Perlu diketahui bahwa tindakan yang bisa diberikan menurut tindakan yang bersifat mandiri dan kolaborasi. Untuk itu penulis akan memaparkan prinsip rencana tindakan keperawatan yang sesuai dengan diagnosa keperawatan :

  1. Gangguan volume cairan tubuh kurang dari kebutuhan tubuh berhubungan dengan peningkatan permeabilitas kapiler, perdarahan , muntah dan demam.

Tujuan :

Gangguan volume cairan tubuh dapat teratasi

Kriteria hasil :

Volume cairan tubuh kembali normal

Intervensi :

  1. Kaji KU dan kondisi pasien

  2. Observasi tanda-tanda vital ( S,N,RR )

  3. Observasi tanda-tanda dehidrasi

  4. Observasi tetesan infus dan lokasi penusukan jarum infus

  5. Balance cairan (input dan out put cairan)

  6. Beri pasien dan anjurkan keluarga pasien untuk memberi minum banyak

  7. Anjurkan keluarga pasien untuk mengganti pakaian pasien yang basah oleh keringat.

  1. Hipertermi berhubungan dengan proses infeksi virus dengue.

Tujuan :

Hipertermi dapat teratasi

Kriteria hasil :

Suhu tubuh kembali normal

Intervensi

  1. Observasi tanda-tanda vital terutama suhu tubuh

  2. Berikan kompres dingin (air biasa) pada daerah dahi dan ketiak

  3. Ganti pakaian yang telah basah oleh keringat

  4. Anjurkan keluarga untuk memakaikan pakaian yang dapat menyerap keringat seperti terbuat dari katun.

  5. Anjurkan keluarga untuk memberikan minum banyak kurang lebih 1500 - 2000 cc per hari

  6. kolaborasi dengan dokter dalam pemberian Therapi, obat penurun panas.

  1. Perubahan nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh berhubungan dengan mual, muntah, tidak ada nafsu makan.

Gangguan pemenuhan nutrisi teratasi

Kriteria hasil

Intake nutrisi klien meningkat

Intervensi

  1. Kaji intake nutrisi klien dan perubahan yang terjadi

  2. Timbang berat badan klien tiap hari

  3. Berikan klien makan dalam keadaan hangat dan dengan porsi sedikit tapi sering

  4. Beri minum air hangat bila klien mengeluh mual

  5. Lakukan pemeriksaan fisik Abdomen (auskultasi, perkusi, dan palpasi).

  6. Kolaborasi dengan dokter dalam pemberian Therapi anti emetik.

  7. Kolaborasi dengan tim gizi dalam penentuan diet.

  1. Kurang pengetahuan keluarga tentang proses penyakit berhubungan dengan kurangnya informasi

  1. Pengetahuan keluarga tentang proses penyakit meningkat

  2. Kriteria hasil

  3. Klien mengerti tentang proses penyakit DHF

  4. Kaji tingkat pendidikan klien.

  5. Kaji tingkat pengetahuan keluarga tentang proses penyakit DHF

  6. Jelaskan pada keluarga klien tentang proses penyakit DHF melalui Penkes.

  7. beri kesempatan pada keluarga untuk bertanya yang belum dimengerti atau diketahuinya.

  8. Libatkan keluarga dalam setiap tindakan yang dilakukan pada klien

  1. Resiko terjadinya perdarahan berhubungan dengan trobositopenia.

Perdarahan tidak terjadi

Kriteria hasil

Trombosit dalam batas normal

Intervensi

  1. Kaji adanya perdarahan

  2. Observasi tanda-tanda vital (S.N.RR)

  3. Antisipasi terjadinya perlukaan / perdarahan.

  4. Anjurkan keluarga klien untuk lebih banyak mengistirahatkan klien

  5. Monitor hasil darah, Trombosit

  6. Kolaborasi dengan dokter dalam pemberian therapi ,pemberian cairan intra vena.

  1. Shock hipovolemik berhubungan dengan perdarahan

Shock hipovolemik dapat teratasi

Kriteria hasil :

Volume cairan tubuh kembali normal, kesadaran compos mentis.

Intervensi

  1. Observasi tingkat kesadaran klien

  2. Observasi tanda-tanda vital (S, N, RR).

  3. Observasi out put dan input cairan (balance cairan)

  4. Kaji adanya tanda-tanda dehidrasi

  5. kolaborasi dengan dokter dalam pemberian therapi cairan.

  1. Evaluasi.

Evaluasi adalah merupakan salah satu alat untuk mengukur suatu perlakuan atau tindakan keperawatan terhadap pasien. Dimana evaluasi ini meliputi evaluasi formatif / evaluasi proses yang dilihat dari setiap selesai melakukan implementasi yang dibuat setiap hari sedangkan evaluasi sumatif / evaluasi hasil dibuat sesuai dengan tujuan yang dibuat mengacu pada kriteria hasil yang diharapkan.

Evaluasi :

  1. Suhu tubuh dalam batas normal.

  2. Intake dan out put kembali normal / seimbang.

  3. Pemenuhan nutrisi yang adekuat.

  4. Perdarahan tidak terjadi / teratasi.

  5. Pengetahuan keluarga bertambah.

  6. Shock hopovolemik teratasi